Patriarki di Dunia Kerja: Analisis Materialisme Historis dari Akar hingga Kapitalisme Kontemporer

Patriarki di Dunia Kerja: Analisis Materialisme Historis dari Akar hingga Kapitalisme Kontemporer

Sistem Patriarki Dalam Dunia Kerja

Subordinasi dan eksploitasi yang dialami perempuan adalah konsekuensi dari sistem patriarki di dunia kerja, yang berakar pada struktur masyarakat kelas dan diperparah oleh kapitalisme. Artikel ini mengupas tuntas bentuk patriarki terselubung menggunakan kerangka feminisme Marxis, melacak akarnya, menjelaskan hubungannya dengan kapitalisme, dan menganalisis manifestasinya di Indonesia. Penindasan gender dan kelas saling terkait, membentuk sistem "patriarki kapitalis" di mana eksploitasi perempuan menjadi bagian integral dari fungsi sistem itu sendiri.

Apa Itu Bentuk Patriarki Terselubung di Dunia Kerja?

Patriarki terselubung adalah praktik, norma, dan bias berbasis gender yang tidak kentara namun meresap kuat di lingkungan kerja, menciptakan hambatan sistemik bagi perempuan. Berbeda dari diskriminasi terang-terangan, bentuk ini sering kali tersembunyi dalam budaya perusahaan, ekspektasi sosial, dan interaksi sehari-hari yang menormalkan ketidaksetaraan. Friedrich Engels dalam karyanya The Origin of the Family, Private Property and the State meletakkan dasar analisis materialis bahwa penindasan perempuan bukanlah takdir biologis, melainkan produk dari perkembangan sosial-ekonomi, khususnya kemunculan kepemilikan pribadi yang mengubah struktur keluarga menjadi patriarkal untuk tujuan pewarisan kekayaan.

Bentuk-Bentuk Diskriminasi Perempuan di Kantor

Diskriminasi di tempat kerja sering kali tidak disadari karena telah menjadi bagian dari budaya kerja toksik. Berikut adalah beberapa bentuk umum yang sering terjadi.

Komentar & Candaan Seksis di Lingkungan Kerja

Humor yang merendahkan atau menjadikan gender sebagai objek adalah salah satu bentuk diskriminasi yang paling umum. Meskipun sering dianggap "hanya bercanda", komentar seksis menciptakan lingkungan kerja yang tidak nyaman dan tidak aman bagi perempuan, serta melanggengkan stereotip berbahaya yang meremehkan kompetensi mereka.

Ekspektasi Ganda dan Beban Tak Terlihat pada Karier Perempuan

Perempuan sering diharapkan untuk mengambil tugas-tugas komunal yang tidak diakui atau dihargai, seperti mengatur acara kantor atau mencatat notulensi rapat—pekerjaan yang dianggap sebagai perpanjangan peran domestik. Selain itu, mereka menghadapi ekspektasi ganda: harus bersikap tegas untuk dianggap kompeten, namun sering dicap "agresif" jika melakukannya, sementara pria dengan sikap yang sama dianggap sebagai pemimpin.

Stigma Perempuan Menikah dan Berkarier

Banyak perusahaan secara implisit memandang perempuan yang sudah menikah atau memiliki anak sebagai pekerja yang kurang berkomitmen. Asumsi ini berdampak pada proses rekrutmen, promosi, dan pemberian tanggung jawab. Perempuan sering kali "dihukum" secara karier karena peran reproduktif mereka, sebuah fenomena yang berakar pada ideologi keluarga nuklir di mana perempuan dianggap sebagai pengurus rumah tangga utama.

Ketimpangan Gender dalam Representasi Perempuan di Kepemimpinan

Data secara konsisten menunjukkan bahwa perempuan sangat kurang terwakili di posisi manajerial dan eksekutif. Di Indonesia, perempuan hanya menempati sekitar seperempat dari posisi manajerial. Hambatan ini dikenal sebagai "langit-langit kaca" (glass ceiling), sebuah penghalang tak terlihat yang menghalangi kemajuan karier perempuan akibat bias dan praktik struktural, bukan karena kurangnya kualifikasi atau ambisi.

Dampak Kapitalisme terhadap Perempuan Pekerja

Kapitalisme secara dinamis mengadopsi dan membentuk ulang hierarki gender untuk tujuan akumulasi modal. Dalam sistem ini, perempuan sering difungsikan sebagai "pasukan cadangan tenaga kerja": sumber tenaga kerja murah dan fleksibel yang dapat ditarik saat dibutuhkan dan didorong kembali ke ranah domestik saat resesi. Selain itu, kerja reproduktif tak berbayar di rumah (memasak, membersihkan, merawat anak) menjadi subsidi raksasa bagi kapitalisme, karena memungkinkan perusahaan membayar upah lebih rendah dari biaya total reproduksi tenaga kerja yang sesungguhnya.

Ketidaksetaraan Upah & Segregasi Kerja

Kondisi perempuan pekerja di Indonesia menjadi cerminan nyata dari sistem patriarki kapitalis. Kesenjangan upah gender yang persisten bukanlah anomali, melainkan fitur sistemik. Kesenjangan ini diperparah oleh segregasi pekerjaan horizontal dan vertikal. Secara horizontal, perempuan terkonsentrasi di sektor "pekerjaan kerah merah muda" (pink-collar jobs) seperti garmen, pelayanan, dan perawatan—sektor-sektor yang secara historis dinilai lebih rendah (undervalued) dan upahnya ditekan. Secara vertikal, perempuan menghadapi "langit-langit kaca" yang membatasi akses mereka ke posisi kepemimpinan.

Lebih jauh lagi, sektor-sektor paling rentan dalam ekonomi Indonesia didominasi oleh perempuan. Jutaan perempuan bekerja sebagai buruh garmen, Pekerja Migran Indonesia (PMI), dan Pekerja Rumah Tangga (PRT), di mana mereka menghadapi kondisi kerja eksploitatif, jam kerja panjang, upah di bawah standar kelayakan, dan perlindungan hukum yang sangat minim. Kelompok pekerja ini seringkali berada di luar jangkauan regulasi ketenagakerjaan formal, menjadikan mereka target empuk eksploitasi ekstrem yang menopang akumulasi modal.

Cara Menghadapi Diskriminasi di Tempat Kerja

Menghadapi diskriminasi membutuhkan keberanian dan strategi. Berikut adalah langkah-langkah yang bisa diambil sebagai panduan cara menghadapi diskriminasi di kantor:

  1. Kenali dan Dokumentasikan:Catat setiap insiden diskriminatif secara detail, termasuk tanggal, waktu, tempat, pihak yang terlibat, dan saksi mata. Dokumentasi ini sangat penting sebagai bukti.
  2. Pahami Hak dan Kebijakan: Pelajari undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia (UU No. 13 Tahun 2003) dan kebijakan internal perusahaan mengenai anti-diskriminasi dan pelecehan.
  3. Cari Dukungan: Bicaralah dengan rekan kerja yang kamu percaya atau cari aliansi di tempat kerja. Memiliki dukungan dapat menguatkan posisimu dan memberikan perspektif lain.
  4. Laporkan Secara Formal: Jika merasa cukup kuat, laporkan insiden tersebut melalui saluran yang tepat, seperti atasan langsung (jika bukan pelaku), departemen SDM (HRD), atau serikat pekerja.
  5. Eskalasi ke Pihak Eksternal: Jika laporan internal tidak ditanggapi, pertimbangkan untuk melapor ke lembaga eksternal seperti Dinas Ketenagakerjaan atau lembaga bantuan hukum yang fokus pada hak-hak pekerja.

Bagi perusahaan, menciptakan lingkungan kerja yang adil adalah tanggung jawab utama. Ini bisa dilakukan dengan menerapkan kebijakan anti-diskriminasi yang jelas, mengadakan pelatihan kesadaran gender secara rutin, dan membangun mekanisme pelaporan yang aman dan transparan.

Melawan Patriarki Kapitalis untuk Kesetaraan

Pembebasan perempuan dari patriarki di dunia kerja tidak bisa dipisahkan dari perjuangan melawan sistem kapitalis yang mengambil untung dari penindasan tersebut. Perjuangan ini menuntut pengakuan dan reorganisasi kerja reproduktif sebagai tanggung jawab sosial, bukan beban individu. Dengan membangun solidaritas kelas yang sadar gender dan menantang pembagian kerja yang tidak adil baik di ranah publik maupun domestik, jalan menuju kesetaraan sejati dapat diwujudkan.

Sebuah Panduan Lengkap dari Teori, Prinsip, hingga Tantangan Demokrasi di Indonesia

Sebuah Panduan Lengkap dari Teori, Prinsip, hingga Tantangan Demokrasi di Indonesia

 

Poster Demokrasi di Indonesia menampilkan ilustrasi tangan-tangan yang memilih di kotak suara dengan obor kebebasan menyala di atasnya.

Kamu pasti sering mendengar kata demokrasi. Dari ruang kelas, berita TV, hingga perbincangan di warung kopi, istilah ini seolah menjadi landasan cara kita bernegara. Tapi, apa sebenarnya demokrasi itu? Apakah hanya sebatas pemilu lima tahun sekali?

Jawabannya jauh lebih dalam dari itu.

Demokrasi adalah sebuah sistem yang kompleks, sebuah ide yang telah melalui perjalanan ribuan tahun, dan sebuah cita-cita yang terus diperjuangkan. Secara harfiah, demokrasi berasal dari bahasa Yunani Kuno, dēmos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), yang berarti "kekuasaan di tangan rakyat." Ini adalah gagasan revolusioner bahwa sumber legitimasi tertinggi sebuah pemerintahan bukanlah raja atau titah dewa, melainkan rakyat itu sendiri.

Artikel ini akan membawamu menyelami konsep demokrasi secara menyeluruh. Kita akan menelusuri jejak sejarahnya, membedah pilar-pilar fundamental yang menopangnya, memahami wajah unik Demokrasi Pancasila di Indonesia, dan menganalisis tantangan-tantangan berat yang dihadapinya hari ini.

Dari Agora Athena hingga Era Modern

Untuk memahami demokrasi hari ini, kita perlu kembali ke akarnya. Perjalanan konsep ini adalah sebuah narasi epik tentang evolusi pemikiran politik.

Demokrasi Langsung di Athena Kuno

Sekitar abad ke-5 SM, negara-kota (polis) Athena di Yunani Kuno mempraktikkan bentuk paling murni dari demokrasi: demokrasi langsung. Warga negara (meskipun saat itu terbatas pada pria dewasa bebas) berkumpul di alun-alun publik yang disebut Agora untuk berdebat dan memberikan suara secara langsung atas setiap undang-undang.

Namun, model ini sangat eksklusif. Perempuan, budak, dan penduduk asing (disebut metics) sama sekali tidak memiliki hak politik. Para filsuf seperti Plato bahkan mengkritiknya karena khawatir akan potensi "pemerintahan oleh massa" (mob rule) yang bisa membuat keputusan emosional.

Warisan Republik Roma dan Benih Supremasi Hukum

Setelah Yunani, Republik Roma (509 SM – 27 SM) menawarkan model pemerintahan campuran yang lebih kompleks. Mereka mengintegrasikan tiga elemen:

  • Monarki: Diwakili oleh para Konsul.
  • Oligarki: Diwakili oleh Senat yang aristokrat.
  • Demokrasi: Diwakili oleh Majelis Rakyat.

Sistem dengan checks and balances (saling kontrol dan keseimbangan) ini memberikan pengaruh besar pada desain konstitusi modern. Berabad-abad kemudian, di Inggris, penandatanganan Magna Carta pada tahun 1215 menjadi tonggak sejarah. Dokumen ini untuk pertama kalinya menetapkan prinsip bahwa kekuasaan raja tidak absolut dan harus tunduk pada hukum. Inilah benih dari supremasi hukum (rule of law), salah satu pilar terpenting demokrasi.

Revolusi Pemikiran Era Pencerahan

Masa Pencerahan di Eropa (abad ke-17 & 18) menjadi titik balik yang melahirkan fondasi filosofis demokrasi modern. Para pemikir pada era ini menantang kekuasaan absolut dan meletakkan dasar bagi kedaulatan rakyat.

  • John Locke: Menggagas teori kontrak sosial, di mana pemerintah dibentuk atas persetujuan rakyat (consent of the governed) untuk melindungi hak-hak alami: hidup, kebebasan, dan properti.
  • Baron de Montesquieu: Terinspirasi sistem Inggris, ia mengembangkan teori pemisahan kekuasaan yang dikenal sebagai Trias Politica. Kekuasaan negara harus dibagi menjadi tiga cabang—legislatif (pembuat UU), eksekutif (pelaksana UU), dan yudikatif (penegak hukum)—yang saling mengawasi.
  • Jean-Jacques Rousseau: Memperkenalkan konsep radikal kedaulatan rakyat dan "kehendak umum" (general will). Baginya, kekuasaan tertinggi mutlak berada di tangan rakyat sebagai sebuah kolektivitas.

Ide-ide inilah yang menjadi bahan bakar intelektual bagi Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Prancis (1789), yang menyebarkan cita-cita demokrasi ke seluruh dunia.

Pilar Fundamental yang Menopang Demokrasi Modern

Memasuki era modern, para ilmuwan politik mencoba merumuskan apa saja elemen esensial dari sebuah negara demokrasi. Salah satu kerangka yang paling berpengaruh dikemukakan oleh Larry Diamond, yang menyebut ada empat pilar utama yang saling terkait.

Sistem Pemilu yang Bebas dan Adil

Ini adalah elemen paling dasar: sebuah sistem politik untuk memilih dan mengganti pemerintah melalui pemilihan umum yang kompetitif, jujur, dan adil. Pemerintah yang demokratis harus didasarkan pada persetujuan dari yang diperintah, dan pemilu adalah wujud nyata dari persetujuan tersebut.

Partisipasi Aktif Rakyat dalam Kehidupan Sipil

Demokrasi yang sehat tidak berhenti setelah tinta pemilu mengering di jari. Ia membutuhkan partisipasi aktif warga negara dalam politik dan kehidupan sipil. Ini mencakup kebebasan untuk membentuk serikat pekerja, LSM, aktif di media, melakukan protes damai, dan mengawasi jalannya pemerintahan.

Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)

Ini adalah komponen "liberal" dari demokrasi liberal. Kekuasaan mayoritas tidak boleh menjadi tiran. Demokrasi sejati harus dibatasi oleh perlindungan hak-hak dasar individu dan kelompok minoritas yang tidak dapat diganggu gugat. Ini termasuk kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan beragama, dan hak atas kesetaraan di depan hukum.

Supremasi Hukum (Rule of Law)

Pilar ini memastikan bahwa hukum dan prosedur berlaku sama bagi semua orang, tanpa kecuali. Tidak ada seorang pun, baik presiden maupun warga biasa, yang berada di atas hukum (above the law). Supremasi hukum melindungi warga dari tindakan sewenang-wenang pemerintah, menjamin keadilan, dan menciptakan tatanan sosial yang stabil dan dapat diprediksi.

Wajah Demokrasi Khas Indonesia

Indonesia, sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, tidak hanya mengadopsi model Barat. Kita memiliki konsep Demokrasi Pancasila, sebuah upaya sintesis antara prinsip-prinsip demokrasi universal dengan falsafah dan nilai-nilai budaya bangsa. Landasan utamanya adalah Sila Keempat Pancasila

"Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan."

Dari sila ini, ada dua karakteristik unik yang menonjol:

  1. Mengutamakan Musyawarah untuk Mufakat: Berbeda dari demokrasi liberal yang sering kali mengandalkan voting mayoritas (50%+1), Demokrasi Pancasila secara ideal mengutamakan proses dialog deliberatif (musyawarah) untuk mencapai sebuah kesepakatan bersama (mufakat). Ini mencerminkan nilai komunal dan gotong royong yang kuat dalam budaya Indonesia.
  2. Perwakilan yang Berhikmat: Wakil rakyat tidak hanya diharapkan menjadi "penyambung lidah" konstituen, tetapi juga harus menggunakan "hikmat kebijaksanaan" untuk membuat keputusan terbaik bagi kepentingan seluruh bangsa.

Tujuan akhir Demokrasi Pancasila juga terhubung langsung dengan Sila Kelima, yaitu terwujudnya "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia." Ini menyiratkan bahwa demokrasi politik harus berjalan seiring dengan demokrasi ekonomi untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Ancaman Nyata di Depan Mata

Perjalanan demokrasi, baik di tingkat global maupun di Indonesia, tidaklah mulus. Saat ini, kita menghadapi tantangan-tantangan kontemporer yang serius dan kompleks.

  • Polarisasi Politik dan Politik Identitas: Masyarakat yang terbelah secara tajam menjadi kubu-kubu yang saling curiga. Polarisasi ini sering diperburuk oleh penggunaan isu SARA (politik identitas) yang mengancam kohesi sosial dan semangat musyawarah.
  • Disinformasi dan Era Pasca-Kebenaran (Post-Truth): Penyebaran hoaks dan berita bohong secara masif melalui media sosial dapat mengikis kepercayaan publik terhadap institusi fundamental seperti pemilu, media, dan pemerintah. Ketika kebenaran objektif tidak lagi menjadi acuan, fondasi debat publik yang sehat menjadi rapuh.
  • Lemahnya Supremasi Hukum: Korupsi yang sistemik, penegakan hukum yang dirasa tebang pilih, dan intervensi politik dalam proses peradilan masih menjadi penghalang utama terwujudnya negara hukum yang sejati.
  • Ketimpangan Ekonomi: Kesenjangan ekonomi yang semakin lebar dapat mengancam prinsip kesetaraan politik. Ketika segelintir kelompok memiliki kekuatan finansial yang sangat besar, suara mereka berpotensi lebih didengar dalam proses politik dibandingkan suara mayoritas warga biasa.

Demokrasi adalah Proses yang Tak Pernah Selesai

Dari analisis mendalam ini, jelas bahwa demokrasi adalah lebih dari sekadar prosedur. Ia adalah sebuah sistem nilai yang kompleks yang menyeimbangkan antara kekuasaan mayoritas dengan perlindungan hak minoritas, antara kebebasan individu dengan kepentingan bersama, dan antara kedaulatan rakyat dengan supremasi hukum.

Perkembangan pemikiran dari Schumpeter, Dahl, hingga Diamond menunjukkan pemahaman yang semakin matang: prosedur demokratis seperti pemilu hanya akan bermakna jika ditopang oleh substansi liberal yang melindungi martabat dan kebebasan setiap individu.

Menjaga dan memperdalam demokrasi di Indonesia adalah tanggung jawab kita bersama. Ini menuntut komitmen untuk memperkuat institusi yang akuntabel, menegakkan hukum tanpa kompromi, meningkatkan literasi digital untuk melawan disinformasi, dan yang terpenting, merawat budaya dialog dan toleransi.

Perjuangan untuk demokrasi, pada hakikatnya, adalah sebuah proses yang tidak pernah selesai.

Ancaman Baru di Ujung Jari, Mengenal Kepmen KOMINFO 522/2024 yang Bisa Membungkam Suara Kritis

Ancaman Baru di Ujung Jari, Mengenal Kepmen KOMINFO 522/2024 yang Bisa Membungkam Suara Kritis



Setiap pagi, jutaan dari kita membuka mata dan hal pertama yang kita raih adalah ponsel. Kita menggulir linimasa untuk melihat kabar terbaru, membaca berita dari portal media favorit, menonton video penjelasan tentang isu yang rumit, hingga berbagi opini di kolom komentar. Ruang digital—entah itu Instagram, X (dulu Twitter), YouTube, Facebook, atau TikTok—telah menjadi alun-alun publik kita yang baru. Di sinilah kita berkomunikasi, mendapatkan informasi, dan bahkan menyuarakan aspirasi. Kebebasan untuk berekspresi dan mendapatkan informasi di ruang ini terasa begitu alami, begitu menyatu dengan kehidupan sehari-hari, hingga kita mungkin lupa bahwa kebebasan itu bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya; ia harus terus-menerus dijaga.

Namun, sebuah peraturan baru yang terbit dalam senyap berpotensi mengubah lanskap kebebasan digital di Indonesia secara drastis. Namanya adalah Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kepmen Kominfo) Nomor 522 Tahun 2024. Di permukaan, peraturan ini terdengar seperti sebuah langkah maju yang wajar: upaya pemerintah untuk menertibkan dunia maya dari konten-konten berbahaya. Tapi jika kita gali lebih dalam, seperti yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam kertas kebijakannya, kita akan menemukan sebuah mekanisme yang bisa menjadi pedang bermata dua, yang jika salah digunakan, dapat membungkam suara-suara kritis, termasuk karya jurnalistik yang esensial bagi demokrasi.

Artikel ini akan membedah Kepmen Kominfo 522 dengan bahasa yang sederhana. Kita akan melihat apa sebenarnya isi peraturan ini, mengapa ia begitu mengkhawatirkan, dan bagaimana dampaknya tidak hanya mengancam kebebasan pers, tetapi juga hak setiap warga negara yang menggunakan internet untuk mencari kebenaran dan menyuarakan pendapat. Ini adalah cerita tentang bagaimana sebuah aturan administratif dapat menjadi ancaman baru yang mengintai di ujung jari kita semua.

Apa Sebenarnya Kepmen Kominfo 522?

Mari kita sederhanakan. Bayangkan pemerintah ingin membersihkan internet dari konten negatif. Tentu kita semua setuju bahwa konten seperti pornografi, perjudian, promosi terorisme, atau penipuan investasi ilegal harus diberantas. Kepmen Kominfo 522 adalah salah satu cara pemerintah untuk melakukannya. Aturan ini secara spesifik menargetkan entitas yang disebut Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat User Generated Content (UGC).

Jangan pusing dengan istilah teknisnya. PSE UGC ini sederhananya adalah platform-platform yang kita gunakan setiap hari, di mana kontennya dibuat oleh para penggunanya (user-generated). YouTube, Instagram, Facebook, X, dan TikTok adalah contoh utamanya. Konten di sana tidak dibuat oleh pemilik platform, melainkan oleh kita semua.

Inti dari Kepmen 522 adalah menempatkan tanggung jawab moderasi konten secara langsung di pundak para pengelola platform tersebut. Pemerintah, melalui Kominfo, kini memiliki kewenangan untuk memerintahkan platform-platform ini agar melakukan pemutusan akses (take down) atau menghapus konten yang dianggap melanggar hukum. Untuk memastikan perintah ini dipatuhi, pemerintah membangun sebuah sistem bernama Sistem Kepatuhan Moderasi Konten (SAMAN). Anggap saja SAMAN ini sebagai "sistem patroli digital" milik Kominfo.

Pada tahap awal uji coba, kategori konten yang menjadi target utama adalah enam jenis yang jelas-jelas berbahaya: pornografi, perjudian, terorisme, aktivitas keuangan ilegal, serta promosi makanan, obat, dan kosmetik ilegal. Sampai di sini, semuanya terdengar baik-baik saja, bukan? Siapa yang tidak setuju konten-konten tersebut harus dihapus? Namun, di sinilah letak "jebakan"-nya.

"Pasal Karet" di Dunia Digital

Masalah terbesar dari Kepmen 522 muncul ketika kita membaca lebih teliti. Aturan ini menyebutkan bahwa setelah tahap uji coba, cakupan konten yang bisa diperintahkan untuk dihapus akan diperluas hingga mencakup "seluruh kategori Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan."

Kalimat inilah yang menjadi sumber kekhawatiran utama. Frasa ini sangat luas, tidak spesifik, dan tidak memberikan batasan yang jelas. Ia membuka pintu bagi lahirnya sebuah "pasal karet" versi digital. Tanpa definisi yang rinci, kaku, dan akuntabel tentang apa persisnya "konten yang dilarang" itu, kewenangan untuk menafsirkan jatuh sepenuhnya ke tangan pemerintah. Secara subjektif, pemerintah bisa melabeli konten apa pun sebagai "terlarang" berdasarkan interpretasi mereka terhadap berbagai undang-undang yang ada.

Di sinilah ancaman terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi menjadi nyata. Mari kita bayangkan beberapa skenario:

  • Sebuah media melakukan investigasi mendalam dan mengungkap dugaan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi. Laporan ini dipublikasikan dalam bentuk video di YouTube dan artikel di situs web mereka, lalu disebar melalui X dan Facebook. Pihak yang merasa dirugikan bisa saja melaporkan konten ini dengan dalih "menyebarkan kebencian" atau "informasi bohong" berdasarkan UU ITE. Dengan Kepmen 522, Kominfo bisa langsung memerintahkan YouTube, X, dan Facebook untuk menghapus konten tersebut tanpa melalui proses pengadilan atau mekanisme sengketa pers di Dewan Pers.
  • Sekelompok aktivis lingkungan membuat konten di Instagram yang mengkritik kebijakan pemerintah terkait izin tambang yang merusak alam. Konten tersebut viral dan memicu diskusi publik yang luas. Pemerintah bisa saja menganggap konten ini "meresahkan masyarakat" atau "menghasut", dan memerintahkan Instagram untuk menurunkannya.
  • Sebuah akun edukasi sejarah seperti @neohistoria_id, yang pernah mengalami pelaporan dari pemerintah, mengunggah utas tentang sisi kelam sebuah peristiwa sejarah. Jika ada pihak yang merasa narasi ini "mengganggu ketertiban umum", konten edukatif tersebut bisa lenyap dalam sekejap.

Seperti yang diperingatkan oleh AJI, formulasi yang kabur ini "melahirkan interpretasi yang sangat luas dan subyektif atas muatan berita, opini, dan konten investigasi." Ini akan menciptakan apa yang disebut chilling effect atau efek gentar. Platform digital, karena diancam sanksi denda yang tidak sedikit, akan cenderung bermain aman. Mereka lebih baik menghapus sebuah konten yang dilaporkan daripada mengambil risiko berdebat dengan regulator dan didenda. Akibatnya, media dan masyarakat akan mulai melakukan swasensor (self-censorship). Mereka akan berpikir dua, tiga, atau bahkan sepuluh kali sebelum mengunggah sesuatu yang bersifat kritis atau sensitif.

Mekanisme Sensor dan "Denda Viralitas"

Kepmen 522 tidak hanya memberikan kewenangan, tetapi juga menciptakan mekanisme yang sangat efisien untuk melakukan pemutusan akses. Prosesnya bisa berjalan sangat cepat. Kominfo dapat memerintahkan PSE untuk menghapus konten dengan tenggat waktu yang singkat: hanya 4 jam untuk konten yang dianggap mendesak dan 24 jam untuk konten biasa.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah formula perhitungan sanksi dendanya. Salah satu variabel utama dalam menentukan besaran denda adalah "indeks viralitas". Artinya, semakin banyak sebuah konten diakses atau diunduh oleh publik, semakin besar pula denda yang akan dijatuhkan kepada platform jika mereka gagal menghapusnya tepat waktu.

Ini adalah sebuah logika yang berbahaya. Dalam dunia jurnalistik dan aktivisme, viralitas sering kali menjadi indikator bahwa sebuah informasi penting dan berhasil menjangkau publik luas. Namun, dengan aturan ini, viralitas justru menjadi pemberat hukuman. Konten investigasi yang paling berhasil dan paling banyak dibaca publik justru akan menjadi konten yang paling berisiko bagi platform yang menayangkannya.

Hal ini secara efektif menempatkan platform digital dalam posisi sulit. Mereka dipaksa menjadi perpanjangan tangan regulator, menjadi hakim atas konten-konten yang tayang di tempat mereka. Lebih parah lagi, mekanisme ini sama sekali tidak melibatkan Dewan Pers. Padahal, menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, sengketa yang berkaitan dengan karya jurnalistik seharusnya diselesaikan melalui Dewan Pers. Kepmen 522 menciptakan jalan pintas administratif yang melompati benteng pertahanan kebebasan pers tersebut. Ini adalah bentuk "pembredelan digital"; sebuah cara membungkam karya jurnalistik tanpa perlu mengirim aparat ke kantor media, cukup dengan mengirimkan perintah take down ke platform digital.

Demokrasi di Ujung Tanduk

Ancaman yang dibawa oleh Kepmen Kominfo 522 bukanlah isapan jempol belaka. Kita sudah melihat beberapa contoh bagaimana regulasi digital digunakan untuk membatasi ekspresi. Kasus pelaporan konten edukasi sejarah oleh Kominfo ke platform X adalah bukti nyata bahwa pemerintah secara aktif memantau dan bertindak terhadap konten yang dianggap tidak sejalan. Kepmen 522 akan memberikan "gigi" dan kecepatan pada tindakan-tindakan semacam itu.

Pada akhirnya, isu ini bukan hanya tentang nasib para jurnalis atau media. Ini adalah tentang hak kita semua sebagai warga negara. Hak untuk mendapatkan informasi yang beragam dan tidak disensor, hak untuk mendengar suara-suara kritis yang berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan, dan hak untuk berpartisipasi dalam diskursus publik tanpa rasa takut.

Ketika platform lebih memilih untuk menghapus konten kritis demi menghindari denda, maka yang hilang adalah informasi penting bagi publik. Ketika jurnalis dan aktivis mulai ragu-ragu untuk menyuarakan kebenaran, maka yang dirugikan adalah kualitas demokrasi kita. Alun-alun digital yang seharusnya menjadi ruang diskusi yang hidup dan sehat bisa berubah menjadi ruang gema yang hanya diisi oleh suara-suara yang "aman" dan seragam.

Kepmen Kominfo 522, dengan niat baiknya untuk memberantas konten negatif, ternyata membawa potensi kerusakan kolateral yang sangat besar terhadap pilar-pilar demokrasi. Sudah saatnya kita sebagai publik digital menyadari bahwa kebebasan di dunia maya bukanlah sesuatu yang δεδομένο. Ia perlu dipahami, diperjuangkan, dan dilindungi dari regulasi-regulasi yang, di balik selubung ketertiban, menyembunyikan potensi untuk membungkam.

Revisi UU TNI 2025 dan Putusan MK, Analisis Lengkap Ancaman terhadap Demokrasi

Revisi UU TNI 2025 dan Putusan MK, Analisis Lengkap Ancaman terhadap Demokrasi



Di tengah dinamika politik nasional, pengesahan revisi UU TNI menjadi salah satu isu paling krusial di tahun 2025. Proses legislasi yang dinilai terburu-buru hingga substansi yang dianggap membangkitkan kembali "Dwifungsi ABRI" gaya baru telah memicu perdebatan sengit di ruang publik. Puncaknya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji formil terhadap undang-undang ini, sebuah keputusan yang memberikan legitimasi yudisial di tengah kritik deras dari masyarakat sipil.

Artikel ini akan mengupas secara mendalam seluruh aspek kontroversi revisi UU TNI 2025, mulai dari poin-poin perubahan yang paling disorot, analisis kritis terhadap proses legislasi, signifikansi putusan MK yang diwarnai dissenting opinion, hingga dampaknya yang mengancam pilar-pilar demokrasi dan supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak Reformasi 1998.

Apa Itu Revisi UU TNI dan Mengapa Menjadi Sorotan?

Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) merupakan perubahan atas UU TNI No. 34 Tahun 2004, sebuah produk hukum fundamental yang menjadi penanda reformasi sektor keamanan pasca-Orde Baru. UU No. 34 Tahun 2004 secara tegas membatasi peran TNI pada fungsi pertahanan negara dan menempatkannya di bawah kontrol kepemimpinan sipil.

Namun, RUU TNI yang kemudian disahkan menjadi UU baru di tahun 2025 memuat sejumlah perubahan yang dianggap mengembalikan TNI ke ranah sosial-politik, sebuah langkah mundur yang membahayakan tatanan demokrasi. Proses pembahasannya yang tertutup dan minim partisipasi publik semakin memperkuat dugaan adanya agenda terselubung untuk memperkuat kekuasaan oligarki dengan mengorbankan supremasi sipil.

Poin-Poin Krusial dan Kontroversial dalam Revisi UU TNI Terbaru

Analisis terhadap draf UU TNI terbaru menunjukkan beberapa pasal yang menjadi sumber utama kekhawatiran publik. Poin-poin ini secara langsung berpotensi mengikis batas antara domain sipil dan militer.

1. Perpanjangan Usia Pensiun Prajurit

Salah satu perubahan paling mencolok adalah perpanjangan batas usia pensiun bagi perwira dan bintara/tamtama.

  • Perwira: Usia pensiun diperpanjang hingga 60 tahun.
  • Bintara dan Tamtama: Usia pensiun diperpanjang hingga 58 tahun.

Mengapa ini menjadi masalah? Kritikus berpendapat bahwa perpanjangan usia pensiun ini akan menyebabkan penumpukan perwira non-job di dalam struktur TNI. Sebagai "solusinya", revisi ini juga memperluas kemungkinan bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan di kementerian/lembaga sipil, yang mengarah pada poin kontroversial berikutnya.

2. Perluasan Jabatan Sipil untuk Prajurit TNI Aktif

Ini adalah jantung dari kontroversi. Revisi UU TNI memperluas daftar kementerian dan lembaga negara yang bisa diisi oleh prajurit TNI aktif. Jika sebelumnya terbatas pada 10 instansi yang memiliki kaitan dengan fungsi pertahanan (seperti Kemenko Polhukam, Lemhannas, dll.), kini pintu dibuka lebih lebar.

Dampaknya adalah potensi kembalinya "dwifungsi" di mana militer tidak hanya mengurus pertahanan, tetapi juga turut serta dalam urusan pemerintahan sipil. Hal ini mengancam profesionalisme TNI dan birokrasi sipil, serta menciptakan potensi konflik kepentingan yang besar.

3. Kewenangan Operasi Militer Selain Perang (OMSP)

Revisi ini memberikan kewenangan lebih besar kepada TNI dalam menjalankan OMSP, yang sering kali bersinggungan langsung dengan keamanan dalam negeri—domain utama UU Polri. Aturan yang lebih fleksibel ini dikhawatirkan dapat digunakan untuk mengatasi masalah-masalah sosial dan politik dengan pendekatan militer, seperti penanganan unjuk rasa atau konflik agraria, yang berisiko tinggi melanggar hak asasi manusia.

4. Bisnis Militer yang Terselubung

Meskipun UU No. 34 Tahun 2004 mengamanatkan pengambilalihan bisnis TNI oleh pemerintah, praktiknya masih menyisakan banyak persoalan. Revisi UU TNI 2025 tidak memperkuat mandat ini, justru dikhawatirkan melanggengkan praktik bisnis militer melalui koperasi dan yayasan, yang sulit diawasi dan berpotensi menjadi sumber korupsi serta kekuatan ekonomi-politik di luar kontrol negara.

Proses Legislasi "Ugal-ugalan" dan Gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK)

Kritik utama tidak hanya terletak pada substansi, tetapi juga pada proses pembentukan UU TNI 2025. Koalisi masyarakat sipil menilainya sebagai proses legislasi yang cacat formil karena beberapa alasan:

  • Minim Partisipasi Publik: Pembahasan dilakukan secara tertutup dan tergesa-gesa, mengabaikan masukan dari akademisi, aktivis, dan masyarakat luas.
  • Naskah Akademik yang Bermasalah: Landasan sosiologis dan filosofis dari perubahan ini dianggap tidak kuat dan lebih terkesan sebagai justifikasi atas kepentingan politik tertentu.
  • Pembahasan Cepat dan Senyap: Proses di DPR berjalan sangat cepat, menimbulkan kecurigaan bahwa ini adalah bagian dari "paket" legislasi yang dipaksakan oleh elite politik.

Atas dasar cacat prosedur inilah, gugatan uji formil dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Harapannya, MK sebagai penjaga konstitusi dapat membatalkan undang-undang tersebut karena proses pembentukannya yang tidak sejalan dengan prinsip negara hukum yang demokratis.

Legitimasi Kontroversial dan Suara Dissenting Opinion

Pada akhirnya, MK menolak permohonan uji formil tersebut. Dalam putusan mayoritas, lima hakim konstitusi berpendapat bahwa DPR dan Pemerintah telah memenuhi syarat formil dalam pembentukan undang-undang, meskipun mengakui adanya kekurangan dalam aspek partisipasi publik.

Namun, putusan ini tidak bulat. Empat hakim konstitusi memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) yang sangat kuat.

Makna Penting Dissenting Opinion 4 Hakim MK

  • Menyoroti Cacat Substansial: Keempat hakim ini berpendapat bahwa proses yang minim partisipasi bukanlah sekadar pelanggaran prosedur minor, melainkan sebuah cacat substansial yang mengkhianati kedaulatan rakyat.
  • Legislasi "Top-Down": Mereka menyoroti bahwa proses legislasi berjalan secara elitis dan dari atas ke bawah (top-down), bukan menyerap aspirasi publik.
  • Peringatan bagi Demokrasi: Dissenting opinion ini menjadi catatan sejarah penting yang menegaskan bahwa dari internal lembaga peradilan tertinggi pun, ada kekhawatiran serius terhadap arah legislasi yang membahayakan demokrasi.

Keputusan mayoritas hakim MK, terlepas dari adanya dissenting opinion, secara efektif memberikan stempel legalitas pada revisi UU TNI. Bagi para penentangnya, ini adalah "palu MK untuk oligarki," sebuah keputusan yang lebih memprioritaskan stabilitas politik versi penguasa ketimbang melindungi konstitusi dan semangat reformasi.

Dampak dan Implikasi Revisi UU TNI Bagi Indonesia

Legitimasi UU TNI terbaru ini membawa serangkaian implikasi serius yang akan dirasakan dalam jangka panjang.

Ancaman terhadap Supremasi Sipil

Ini adalah dampak paling fundamental. Penempatan militer aktif di jabatan sipil akan mengaburkan hierarki dan kontrol sipil atas militer, sebuah pilar utama demokrasi yang telah dibangun susah payah sejak era Reformasi.

Penurunan Profesionalisme TNI

TNI berisiko menurun profesionalismenya karena akan kembali ditarik ke dalam pusaran politik praktis dan urusan non-pertahanan. Hal ini dapat mengganggu fokus utamanya sebagai alat pertahanan negara yang modern dan disegani.

Peningkatan Risiko Pelanggaran HAM

Potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) meningkat, terutama dengan pelibatan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang menyentuh ranah keamanan dalam negeri. Pendekatan militeristik dalam penanganan konflik sosial sangat rentan terhadap penggunaan kekerasan.

Pelemahan Pemberantasan Korupsi

Upaya pemberantasan korupsi akan semakin sulit. Ranah militer yang cenderung tertutup, ditambah potensi bisnis militer yang tidak transparan, menciptakan celah besar bagi praktik korupsi yang sulit dijangkau oleh lembaga penegak hukum sipil seperti KPK.

Regresi Iklim Demokrasi

Secara keseluruhan, iklim demokrasi akan mengalami kemunduran atau regresi. Ruang gerak masyarakat sipil, mahasiswa, dan kelompok oposisi berpotensi menyempit karena adanya "ancaman" intervensi dari aparat keamanan dengan dalih menjaga stabilitas nasional.

Arah Demokrasi Indonesia Pasca Putusan UU TNI

Putusan MK atas revisi UU TNI menandai sebuah babak baru yang penuh tantangan bagi demokrasi Indonesia. Legitimasi hukum telah diberikan, namun legitimasi sosial dan politiknya akan terus dipertanyakan. Peran masyarakat sipil menjadi semakin vital untuk:

  1. Mengawasi Implementasi: Memantau secara ketat setiap penempatan prajurit TNI di jabatan sipil dan pelaksanaan OMSP.
  2. Mendorong Revisi Balik: Terus menyuarakan argumen dan data untuk mendorong adanya revisi kembali di masa depan yang mengembalikan UU TNI ke khitah reformasi.
  3. Memperkuat Konsolidasi: Membangun aliansi yang lebih luas antara akademisi, mahasiswa, aktivis, dan media untuk menjadi kekuatan penyeimbang yang solid terhadap kekuasaan.

Kontroversi revisi UU TNI 2025 dan putusan MK yang melegitimasinya adalah cerminan dari pertarungan besar antara agenda reformasi demokrasi melawan kepentingan konsolidasi kekuasaan oligarki. Meskipun secara formil telah sah, substansi undang-undang ini menyimpan bara api yang dapat membakar pilar-pilar supremasi sipil dan profesionalisme TNI.

Perjalanan demokrasi Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Apakah ia akan terus melaju di jalur reformasi atau berbelok kembali ke lorong gelap otoritarianisme, jawabannya akan sangat bergantung pada seberapa kuat masyarakat sipil mampu mengawal dan melawan kebijakan yang mengancam masa depan bangsa. Perdebatan seputar UU TNI terbaru ini belum berakhir; ia baru saja memasuki arena pertarungan yang baru.

BPN : sentralisasi Kekuasaan, atau Reformasi Fiskal

BPN : sentralisasi Kekuasaan, atau Reformasi Fiskal

 Di tengah riuh rendah kebutuhan anggaran untuk membiayai agenda pembangunan, pemerintah menggulirkan sebuah gagasan radikal: membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN). Wacana ini dibingkai dalam narasi krisis dan urgensi, seolah-olah BPN adalah satu-satunya jalan keluar.

Namun, di balik janji manis efisiensi, proposal ini menyimpan pertaruhan besar terhadap prinsip tata kelola negara. Pertanyaannya bukan lagi sekadar teknis, melainkan fundamental: apakah BPN adalah reformasi sejati, atau justru manuver politik untuk memusatkan kekuasaan?

Badan Penerimaan Negara dan Target Ambisius 23% PDB

Di atas kertas, tujuan BPN sangat mulia. Ia dijanjikan sebagai "mesin super" yang akan mendongkrak rasio penerimaan negara hingga level ambisius 23% dari PDB. Ini bukan sekadar angka, melainkan sebuah lompatan kuantum jika dibandingkan dengan realisasi rasio pajak yang selama bertahun-tahun stagnan di kisaran 10-12%, seperti yang tercatat dalam Nota Keuangan APBN 2025. Target ini, jika tercapai, diharapkan dapat membiayai program populis sekaligus mengatasi isu ketimpangan sosial yang kronis.


Narasi yang dibangun adalah kondisi darurat fiskal, dengan data defisit APBN 2025 yang diproyeksikan melebar dan penerimaan pajak yang terkontraksi sebagai pembenaran. Argumen ini, meskipun kuat secara retorika, menyederhanakan masalah kompleks penerimaan negara menjadi sekadar problem kelembagaan.

Risiko Sentralisasi Fiskal di Bawah Presiden

Rancangan BPN secara efektif memindahkan pusat gravitasi kekuasaan fiskal. Dengan menyatukan wewenang Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) di bawah sebuah superbody yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, BPN menarik kewenangan vital dari ranah teknokratis Kementerian Keuangan ke ranah politik Istana. Langkah ini berisiko membuat kebijakan penerimaan negara menjadi sangat rentan terhadap intervensi dan agenda politik jangka pendek, mengorbankan stabilitas dan prediktabilitas jangka panjang.

Sekuritisasi Fiskal, TNI-Polri dalam Dewan Pengawas BPN

"Bendera merah" terbesar dari proposal BPN adalah rencana pelibatan Panglima TNI dan Kapolri dalam Dewan Pengawas. Langkah ini adalah bentuk "sekuritisasi fiskal", sebuah pergeseran paradigma berbahaya yang menyeret urusan sipil ke dalam pendekatan keamanan.

Logika yang terbangun bukan lagi "bagaimana melayani wajib pajak agar patuh?", melainkan "bagaimana menekan wajib pajak agar tunduk?".

Implikasinya mengerikan: audit pajak bisa terasa seperti interogasi, dan sengketa pajak berisiko ditangani dengan instrumen penegakan hukum yang represif. Ini adalah ancaman nyata bagi hak-hak wajib pajak dan iklim usaha.

Klaim Praktik Terbaik Global dan Mitos SARA

Wacana BPN kerap dibungkus klaim bahwa ini adalah best practice internasional, namun data global seperti yang sering dirangkum dalam laporan pendapatan pajak OECDmenunjukkan klaim ini adalah penyederhanaan yang berbahaya. Hasil implementasi model serupa, Semi-Autonomous Revenue Authority (SARA), di berbagai negara sangat bervariasi:

  • Peru: Awalnya dianggap sukses, namun akhirnya runtuh akibat derasnya intervensi politik dan instabilitas.
  • Afrika Sub-Sahara: Studi komprehensif di 15 negara membuktikan model ini gagal meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan dalam jangka panjang.

Jalan Tol Regulasi

Kekhawatiran semakin memuncak ketika melihat jalur legislasi yang akan ditempuh. Rencana pembentukan BPN tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025, mengindikasikan kuat bahwa pemerintah akan mengambil "jalan tol regulasi" melalui Peraturan Presiden (Perpres). Langkah ini secara efektif memangkas proses demokrasi debat publik, uji sahih argumen, dan pengawasan ketat dari DPR yang seharusnya menjadi jantung dari setiap perubahan fundamental. Hal ini sejalan dengan tren pembuatan kebijakan strategis yang dibahas dalam Analisis Perpres 79 Tahun 2025.

BPN 2025, Reformasi Fiskal atau Rekayasa Kekuasaan?

Badan Penerimaan Negara 2025 diproyeksikan menjadi mesin super fiskal dengan target 23% PDB. Namun, di balik narasi teknokratis, tersimpan risiko besar: sentralisasi kekuasaan di istana, sekuritisasi fiskal dengan pelibatan TNI-Polri, dan erosi demokrasi legislasi lewat jalur Perpres. Pertanyaan krusialnya, apakah BPN 2025 akan benar-benar menjadi reformasi fiskal yang transparan, atau justru kotak Pandora kekuasaan yang membuka jalan bagi kontrol politik absolut atas penerimaan negara?


 Apa Itu Hilirisasi Nikel? Janji Kemajuan dan Realita di Lapangan

Apa Itu Hilirisasi Nikel? Janji Kemajuan dan Realita di Lapangan

Tambang nikel terbuka di Sulawesi yang menjadi pusat hilirisasi nikel Indonesia. Aktivitas ini disebut mendongkrak ekspor, namun juga menimbulkan dampak ekologis yang serius.” Photo by NA on Freeimages.com

Pemerintah sering menggaungkan istilah
hilirisasi nikel Indonesia sebagai kunci lompatan ekonomi bangsa. Narasi sederhananya: kita tidak lagi menjual bijih mentah seharga "kacang goreng", melainkan mengolahnya dulu menjadi produk bernilai tambah agar harganya setara "hidangan premium". Secara konsep, strategi ini terdengar patriotik, logis, dan sangat menguntungkan. Tujuannya adalah melepaskan Indonesia dari kutukan sumber daya alam yang telah menjerat banyak negara berkembang.

Namun, di balik janji kemajuan dan angka statistik yang memukau, terdapat realita yang jauh lebih kompleks dan suram. Ada pertanyaan kritis tentang siapa yang sesungguhnya diuntungkan dari industrialisasi masif ini, dan siapa yang harus menanggung biayanya dalam senyap. Artikel ini akan menjelaskan apa itu hilirisasi nikel, dari definisi hingga membongkar dampak hilirisasi nikel yang terjadi di lapangan secara kritis dan progresif.

Definisi Hilirisasi Nikel

Pada dasarnya, hilirisasi adalah sebuah strategi paksa untuk memindahkan proses pengolahan bahan mentah (hulu) ke dalam negeri, sehingga produk yang diekspor memiliki nilai jual yang lebih tinggi (hilir). Ini adalah upaya memanjat rantai nilai global, dari sekadar penambang menjadi produsen industri.

Untuk nikel, strategi ini dieksekusi melalui kebijakan paling radikal: larangan total ekspor bijih nikel mentah sejak 1 Januari 2020. Kebijakan ini secara efektif "menyandera" pasokan nikel dunia dan memaksa investor global untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian, atau yang lebih dikenal sebagai smelter nikel Indonesia, jika mereka ingin mengakses harta karun nikel kita.

Produk Utama Hilirisasi Nikel di Indonesia

Dengan memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia kini menjadi pemain sentral dalam produksi dua komoditas vital bagi industri global:

  • Nickel Pig Iron (NPI) & Feronikel (FeNi): Ini adalah produk nikel kelas dua yang menjadi bahan baku utama untuk pembuatan baja tahan karat (stainless steel). Hilirisasi telah menjadikan Indonesia pemasok dominan bagi industri baja nirkarat Tiongkok.
  • Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) & Nikel Sulfat: Ini adalah produk nikel kelas satu yang lebih murni dan menjadi komponen krusial dalam pembuatan katoda nikel untuk baterai listrik (EV). Lewat produk ini, Indonesia bercita-cita menjadi raja dalam rantai pasok kendaraan listrik dunia.

Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan?

Klaim keberhasilan hilirisasi sering didasarkan pada lonjakan fantastis nilai ekspor, seperti yang dilaporkan Kementerian Investasi/BKPM. Namun, analisis progresif wajib mempertanyakan: keuntungan itu mengalir ke mana?

Sebagian besar mega-proyek smelter di Morowali, Weda Bay, dan Konawe didanai, dimiliki, dan teknologinya dikuasai oleh investasi asing, terutama dari Tiongkok. Mereka seringkali mendapatkan berbagai insentif seperti libur pajak (tax holiday) selama bertahun-tahun. Akibatnya, keuntungan terbesar dalam bentuk laba perusahaan dan dividen mengalir kembali ke luar negeri.

Model ini lebih akurat disebut sebagai ekonomi ekstraktif gaya baru. "Nilai tambah nikel" memang tercipta di tanah Indonesia, tetapi akumulasi modal dan penguasaan teknologinya terjadi di tempat lain. Indonesia mendapatkan penerimaan dari pajak (setelah masa insentif habis), royalti, dan upah buruh, namun porsi "kue" yang dinikmati tidak sebanding dengan kekayaan alam yang dikeruk dan biaya sosial-ekologis yang ditanggung.

Biaya Tersembunyi Hilirisasi

Di lapangan, narasi kemajuan ekonomi seringkali runtuh di hadapan kenyataan pahit yang dialami masyarakat dan lingkungan. Inilah harga yang harus dibayar.

Krisis Lingkungan & Energi Hitam

Dampak lingkungan tambang nikel sangat masif dan brutal. Hutan hujan tropis yang kaya keanekaragaman hayati dibabat habis, menyisakan lanskap merah dan tandus. Limbah sisa olahan berupa slag (limbah padat) menggunung, sementara tailing (limbah cair) yang mengandung logam berat berisiko mencemari sungai, danau, dan pesisir laut.

Ironi terbesar adalah paradoks energi: nikel yang ditambang untuk "transisi energi hijau" (baterai EV) justru dilebur menggunakan "energi hitam" dari PLTU batu bara captive yang dibangun khusus untuk smelter. Ini menjadikan klaim "hijau" sebagai sebuah kamuflase. Organisasi lingkungan seperti JATAM dan WALHI secara konsisten melaporkan kerusakan ekosistem permanen di lingkar tambang.

Studi Kasus: Tambang Nikel di Raja Ampat

Puncak paradoks dan ancaman nyata hilirisasi terjadi di Raja Ampat, sebuah kawasan yang diakui sebagai surga keanekaragaman hayati laut dunia. Di Pulau Gag, PT Gag Nikel (anak usaha BUMN Antam) menjalankan operasi tambang masif di jantung "segitiga terumbu karang" dunia. Aktivitas ini menjadi kontroversi hebat karena secara eksplisit bertentangan dengan UU No. 1/2014 yang melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil.

Laporan investigasi oleh Greenpeace Indonesia mengungkap bagaimana pembukaan lahan untuk tambang telah menghancurkan ratusan hektar hutan. Lebih parah lagi, sedimen tanah dari area tambang yang terkikis hujan mengalir langsung ke laut, menyebabkan pendangkalan dan menutupi terumbu karang yang menjadi sumber kehidupan bagi ekosistem dan mata pencaharian utama nelayan lokal. Nelayan mengaku harus melaut lebih jauh untuk mencari ikan sejak tambang beroperasi, sebuah kesaksian pahit tentang bagaimana industri ini merampas ruang hidup mereka.

Konflik Sosial dan Tenaga Kerja

Konflik sosial tambang nikel telah menjadi pemandangan umum. Sengketa lahan antara perusahaan dan masyarakat adat, penggusuran paksa, dan intimidasi adalah beberapa masalah yang kerap muncul. Selain itu, janji penyerapan tenaga kerja lokal seringkali tidak sesuai harapan. Posisi strategis dan teknis banyak diisi oleh tenaga kerja asing dengan alasan kompetensi, memicu kecemburuan sosial dan gesekan di tingkat akar rumput.

Jalan Keluar: Hilirisasi yang Berkeadilan

Hilirisasi tidak harus menjadi sebuah proyek eksploitatif. Sebuah model yang progresif dan berkeadilan harus melampaui sekadar membangun smelter. Ia harus mencakup:

  1. Kedaulatan dan Transfer Teknologi: Mewajibkan investor untuk melakukan transfer teknologi secara terstruktur, membangun pusat riset dan pengembangan di Indonesia, serta memaksimalkan penggunaan tenaga ahli lokal.
  2. Standar Lingkungan yang Tegas dan Tanpa Kompromi: Memaksa industri untuk beralih ke sumber energi terbarukan, menerapkan prinsip ekonomi sirkular untuk pengelolaan limbah, dan melakukan rehabilitasi pasca-tambang secara total.
  3. Keadilan Sosial dan Kesejahteraan Komunitas: Memastikan masyarakat lokal, terutama masyarakat adat, menjadi penerima manfaat utama melalui skema pembagian keuntungan yang adil, penghormatan terhadap hak atas tanah, dan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas.

Tanpa ketiga pilar tersebut, hilirisasi hanya akan mengulang sejarah kelam eksploitasi sumber daya alam, di mana pertumbuhan ekonomi dinikmati segelintir elite sementara rakyat dan lingkungan menanggung bebannya.

Baca juga analisis kami tentang kutukan sumber daya alam di Indonesia dan bagaimana hal itu terkait dengan hilirisasi nikel. Klik di sini 

Hilirisasi Nikel 2025: Pertumbuhan Ekonomi atau Krisis Sosial?

Hilirisasi Nikel 2025: Pertumbuhan Ekonomi atau Krisis Sosial?


Kebijakan hilirisasi nikel Indonesia kerap ditampilkan sebagai kisah sukses pembangunan, sebuah narasi agung yang selaras dengan pilar utama dari analisis ekonomi-politik Perpres 79/2025. Pemerintah, melalui Kementerian Investasi/BKPM, secara konsisten melukiskan gambaran optimisme: investasi triliunan rupiah yang memecahkan rekor, pertumbuhan ekonomi regional yang meroket, dan serapan tenaga kerja massal. Hilirisasi diposisikan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang akan mengubah takdir bangsa, dari sekadar pengekspor tanah mentah menjadi pemain utama dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik global. Namun, di balik narasi resmi yang gemerlap, data dari lapangan yang dihimpun oleh JATAM dan WALHI menceritakan kisah yang sama sekali berbeda, sebuah antitesis dari janji kemakmuran.

Di balik angka-angka fantastis, terdapat sebuah paradoks—sebuah model pembangunan predatoris yang secara sistematis menginternalisasi keuntungan bagi segelintir elite korporasi dan politik, sembari melimpahkan biaya sosial dan ekologis yang menghancurkan kepada masyarakat lokal. Ini bukan sekadar dampak sampingan; ini adalah fitur desain dari model pembangunan yang kita saksikan.

Euforia Pertumbuhan Ekonomi Nikel yang Fantastis

Tidak bisa dipungkiri, narasi keberhasilan hilirisasi nikel berakar pada data pertumbuhan fenomenal yang seringkali dijadikan justifikasi tunggal atas segala ongkos yang ditimbulkan. Provinsi yang menjadi pusat industri seperti Maluku Utara dan Sulawesi Tengah mencatatkan kinerja Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang luar biasa:

  • Maluku Utara: Didorong oleh Kawasan Industri Weda Bay (IWIP), ekonomi provinsi ini melesat 34,58% pada Triwulan I 2025, sebuah anomali statistik global yang bahkan melampaui negara dengan pertumbuhan tercepat sekalipun.
  • Sulawesi Tengah: Sebagai rumah bagi kawasan industri Morowali (IMIP), salah satu hub smelter nikel terbesar di dunia, ekonominya tumbuh impresif 8,69%, jauh melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.

Pertumbuhan ini adalah buah dari ledakan investasi yang pada semester I 2025 saja menembus Rp 942,9 triliun. Namun, struktur pertumbuhan ini sangat rapuh dan menciptakan ilusi kemakmuran. Ia melahirkan apa yang oleh para ekonom disebut ekonomi kantong (enclave economy). Artinya, kawasan industri modern ini beroperasi layaknya sebuah gelembung yang terisolasi dari ekonomi kerakyatan di sekitarnya. Rantai pasoknya didatangkan dari luar, tenaga kerja terampilnya bukan penduduk lokal, dan keuntungannya direpatriasi ke negara investor. Petani dan nelayan lokal tidak menjadi pemasok, melainkan penonton dari kemegahan industri yang merampas tanah dan laut mereka. Struktur ini dikendalikan oleh segelintir oligarki nikel yang memiliki koneksi erat dengan kekuasaan politik, memastikan kebijakan selalu menguntungkan mereka.

Baca juga:

Ilusi Kesejahteraan dan Biaya Sosial-Ekologis yang Menghancurkan

Jika wajah pertama adalah tentang angka-angka PDRB yang memukau, wajah kedua adalah tentang penderitaan manusia, kehancuran lingkungan, dan erosi demokrasi. Di sinilah paradoks dampak hilirisasi nikel menjadi sangat nyata dan menyakitkan.

Kemiskinan Struktural dan Ketimpangan yang Menganga di Maluku Utara & Sulawesi Tengah

Asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi akan otomatis menetes ke bawah (trickle-down effect) terbantahkan secara telak oleh data di lapangan. Di tengah gembar-gembor pertumbuhan ekonomi Morowali dan sekitarnya, angka kemiskinan di Sulawesi Tengah masih stagnan di 10,92%, secara konsisten lebih tinggi dari rata-rata nasional. Ironisnya, studi JATAM menunjukkan laju penurunan angka kemiskinan di era hilirisasi (2014-2024) justru melambat drastis hingga 50% dibandingkan era pra-hilirisasi (2004-2014). Pertumbuhan ada, tapi hanya untuk segelintir orang.

Ketimpangan (Rasio Gini) di perdesaan Sulawesi Tenggara bahkan meningkat dari 0,332 menjadi 0,336. Ini bukan sekadar angka statistik. Ini berarti di desa-desa lingkar tambang, segelintir orang yang menjual tanahnya menjadi kaya mendadak, sementara mayoritas tetangganya yang kehilangan lahan pertanian dan perairan bersih, jatuh lebih miskin. Manfaat ekonomi hanya terpusat di elite, menciptakan kecemburuan sosial yang siap meledak kapan saja.

Menciptakan "Zona Pengorbanan Hijau"

Transisi energi hijau yang digadang-gadang global untuk menyelamatkan planet, ironisnya, ditenagai oleh proses industrialisasi paling polutif di Indonesia, yang secara efektif menciptakan "zona pengorbanan".

  • Deforestasi Massif dan Permanen: Lebih dari 500.000 hektar, setara dengan delapan kali luas DKI Jakarta, hutan primer dan sekunder di Sulawesi telah dibabat habis untuk tambang nikel. Ini bukan sekadar kehilangan pohon, ini adalah kehilangan keanekaragaman hayati, hancurnya daerah resapan air yang memicu banjir bandang, dan hilangnya sumber pangan dan obat-obatan bagi masyarakat adat.
  • Pencemaran Logam Berat yang Meracuni Generasi: Ikan di Teluk Weda, Maluku Utara, ditemukan terkontaminasi merkuri (Hg) dan arsenik (As) di atas ambang batas aman. Lebih mengerikan lagi, tes darah warga menunjukkan 47% memiliki kadar merkuri di atas batas aman WHO, meracuni sistem saraf mereka secara perlahan. Ini adalah warisan toksik yang akan ditanggung oleh anak-cucu mereka.
  • Polusi Udara dari Energi Paling Kotor: Hampir semua smelter ditenagai oleh PLTU batu bara captive yang dibangun khusus untuk industri. Ini adalah paradoks terbesar: teknologi hijau untuk mobil listrik diproduksi dengan membakar energi paling hitam. Studi dari CREA & CELIOS memproyeksikan emisi dari PLTU ini akan menyebabkan lebih dari 3.800 kematian prematur pada tahun 2025 saja akibat penyakit jantung, stroke, dan ISPA. Data ini diperkuat oleh lonjakan kasus ISPA di sekitar Morowali, dari 10.273 kasus pada 2020 menjadi 55.527 kasus pada 2023. Warga setiap hari menghirup udara beracun demi "kemajuan".

Konflik Agraria, Eksploitasi Buruh, dan Dampak Sosial Hilirisasi yang Merobek Tatanan Masyarakat

Di balik krisis ekologis, ada krisis kemanusiaan yang mendalam sebagai dampak sosial hilirisasi:

  • Konflik Agraria & Kriminalisasi Sistematis: Ekspansi industri memicu konflik lahan berdarah di mana-mana, dari Blok Mandiodo di Sulawesi Tenggara hingga Pulau Obi di Maluku Utara. Protes warga yang mempertahankan tanah leluhurnya seringkali dihadapi dengan kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi oleh aparat yang bertindak seolah centeng perusahaan. Ruang demokrasi menyempit, dan suara warga dibungkam.
  • Ruang Hidup yang Dirampas Secara Brutal: Nelayan di pesisir Morowali kehilangan wilayah tangkap karena laut tercemar air bahang (thermal pollution) dari PLTU dan limbah tailing, memaksa mereka menjadi pemulung atau ojek laut dengan pendapatan tak menentu. Petani di Bahodopi kehilangan sawah produktif akibat banjir lumpur dari lokasi tambang yang serampangan. Ini bukan sekadar kehilangan mata pencaharian, ini adalah kehilangan identitas dan martabat.
  • Eksploitasi Buruh di Balik Gerbang Smelter: Laporan investigasi mengungkap kondisi kerja yang mendekati perbudakan modern: jadwal kerja brutal hingga 60 jam per minggu, paparan debu silika dan zat berbahaya tanpa Alat Pelindung Diri (APD) yang memadai, dan upah yang tidak sepadan dengan risiko nyawa. Kecelakaan kerja yang fatal menjadi hal biasa. Buruh perempuan menghadapi kerentanan ganda, kesulitan mendapat hak cuti haid atau melahirkan.

Kesimpulan: Hilirisasi Nikel Indonesia, Berkah Ekonomi atau Kutukan Sosial?

Hilirisasi nikel 2025 memang berhasil mencatatkan pertumbuhan ekonomi luar biasa di Maluku Utara dan Morowali. Namun, di balik angka PDRB yang melesat, tersembunyi biaya yang teramat mahal: masyarakat lokal yang semakin miskin dan terpinggirkan, konflik agraria yang tak kunjung usai, dan krisis ekologis yang mungkin tak bisa dipulihkan. Transisi energi hijau yang digadang-gadang dunia lewat nikel Indonesia, ternyata dibayar dengan penciptaan “zona pengorbanan hijau” di tanah air kita sendiri.

Pertanyaannya bukan lagi apakah hilirisasi ini berhasil, melainkan berhasil untuk siapa? Apakah ini benar-benar jalan menuju kesejahteraan berkelanjutan, atau hanya sebuah proyek raksasa yang memperkuat cengkeraman oligarki nikel, memperdalam ketimpangan struktural, dan menjadi babak baru dari manifestasi kutukan sumber daya alam Indonesia?

Baca juga:

Tanya Jawab (FAQ)

  1. Apa dampak hilirisasi nikel di Morowali dan Maluku Utara? Secara ekonomi, PDRB meningkat pesat. Namun, dampak sosial dan lingkungannya sangat negatif, meliputi meningkatnya kemiskinan struktural, ketimpangan yang melebar, konflik agraria berdarah, pencemaran logam berat di laut dan udara, polusi masif dari PLTU batu bara, serta eksploitasi sistemik terhadap buruh.
  2. Kenapa pertumbuhan ekonomi akibat nikel disebut semu? Disebut semu karena pertumbuhan tidak merata dan tidak menetes ke bawah (trickle-down). Manfaatnya terpusat pada industri dan elite tertentu dalam sebuah "ekonomi kantong" yang terisolasi, sementara masyarakat lokal justru mengalami penurunan kualitas hidup, kehilangan sumber pencaharian tradisional, dan menghadapi risiko kesehatan jangka panjang yang tinggi.
  3. Apa hubungan hilirisasi nikel dengan transisi energi hijau? Nikel adalah komponen kunci untuk baterai kendaraan listrik, yang merupakan bagian penting dari transisi energi hijau

PKKMB Unnes 2025 Ricuh, Mahasiswa Bentang Spanduk Tuntut Pembebasan 3 Terdakwa

PKKMB Unnes 2025 Ricuh, Mahasiswa Bentang Spanduk Tuntut Pembebasan 3 Terdakwa

Terlihat para mahasiswa berusaha membentangkan spanduk besar bertuliskan "Bebaskan Kawan Kami" dari balik sebuah pagar. Aksi ini merupakan bentuk protes dan tuntutan agar rekan mereka dibebaskan

SEMARANGRangkaian acara Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) Universitas Negeri Semarang (Unnes) 2025 diwarnai kericuhan pada hari Minggu (17/08/2025). Ketegangan pecah antara mahasiswa dan aparat keamanan kampus buntut dari aksi pembentangan spanduk solidaritas untuk tiga mahasiswa Unnes yang kini berstatus terdakwa. Insiden ini menjadi puncak dari seruan mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Massa Aksi (Somasi) Unnes. Mereka menuntut pembebasan rekan mereka yang tersangkut kasus hukum setelah mengikuti aksi Hari Buruh pada Mei 2025.

Kronologi Aksi Solidaritas di PKKMB Unnes

Tepat setelah Upacara Bendera HUT RI ke-80, pada pukul 08.13 WIB, sejumlah mahasiswa dari Somasi Unnes membentangkan spanduk besar bertuliskan ‘Bebaskan Kawan Kami’. Aksi yang disertai bunyi drum dan yel-yel tersebut langsung memicu respons dari pihak keamanan kampus. Belum sempat spanduk terbentang penuh, petugas keamanan langsung menurunkannya secara paksa. Tindakan ini menyulut ketegangan singkat dan adu argumen antara mahasiswa dan aparat di lapangan.

Menjaga Ingatan untuk 3 Mahasiswa Terdakwa

Muhammad Hanif, salah seorang anggota Somasi Unnes, menyatakan bahwa aksi ini adalah langkah krusial untuk terus menyuarakan nasib ketiga rekannya. Status hukum mereka baru saja naik dari tersangka menjadi terdakwa pada Kamis, 14 Agustus 2025.

“Kami dari teman-teman Somasi Unnes itu ingin menyampaikan pesan bahwa masih terdapat tiga mahasiswa Unnes yang sampai dengan hari ini bukan lagi sebagai tersangka, tapi sudah menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Kota Semarang begitu,” ujar Hanif.

Respons Mahasiswa Baru dan Panggilan Kemanusiaan

Di tengah ketegangan, dua mahasiswa baru dari Fakultas Ilmu Keolahragaan, Yose dan Faris, memberikan pandangan mereka yang cenderung netral.

“Karena kami Maba. Kami nggak tahu apa-apa, jadi ikut dukung aja gitu. Ambil netral aja kami,” tutur mereka.

Menanggapi sikap tersebut, Hanif menekankan bahwa Somasi Unnes tidak pernah memaksa siapa pun untuk peduli. Namun, ia berharap ada rasa ingin tahu yang bisa memantik nurani.

“Setidaknya dari rasa ingin tahu tersebut akan timbul rasa-rasa kemanusiaan. Dan menimbulkan pertanyaan: bagaimana nanti jika peristiwa kriminalisasi ini bisa menimpa diri sendiri?” tutupnya.

Rangkaian peristiwa hari itu diakhiri dengan aksi walk out yang dimulai oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dan diikuti oleh beberapa fakultas lainnya pada pukul 08.10 WIB.

Hak Angket DPRD Pati: Buntut Arogansi Bupati Sulut Amarah Massa

Hak Angket DPRD Pati: Buntut Arogansi Bupati Sulut Amarah Massa

  

Permintaan Maaf Sudewo dihadapan Massa Aksi 

PATI – Eskalasi kemarahan publik di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, mencapai puncaknya pada Rabu (13/8/2025) dalam sebuah demonstrasi kolosal yang berakhir ricuh. Dipicu oleh kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan diperparah oleh pernyataan arogan Bupati Sudewo, puluhan ribu warga turun ke jalan menuntut sang bupati mundur dari jabatannya. Aksi ini berujung pada pembakaran mobil aparat dan direspons Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan langkah politik luar biasa: menggulirkan hak angket.
Api krisis ini sejatinya bermula dari kebijakan Pemkab Pati yang menaikkan PBB hingga 250%. Namun, bensin yang menyulut kobaran api amarah adalah pernyataan Bupati Sudewo yang viral. Menanggapi rencana protes, Sudewo dengan nada menantang menyatakan tidak gentar.

"Jangankan 5 ribu orang yang demo, 50 ribu orang yang demo pun tidak akan membatalkan kebijakan PBB," ujar Sudewo dalam sebuah rekaman video yang beredar luas sebelum aksi.

Pernyataan inilah yang mengubah gelombang protes dari sekadar isu kebijakan menjadi mosi tidak percaya terhadap integritas kepemimpinan Sudewo.

Kronologi Kemarahan: Dari Peti Mati hingga Gas Air Mata

Gambar Salah Satu Spanduk yang dibawa Massa Aksi
Sejak pagi hari, massa yang diperkirakan mencapai 100.000 orang dari berbagai elemen masyarakat telah memadati Alun-Alun Pati. Mereka membawa spanduk, poster, hingga replika peti mati sebagai simbol matinya kepercayaan rakyat . Suasana yang semula berjalan tertib mulai memanas sekitar pukul 11.00 WIB.
Kekecewaan massa memuncak karena Bupati Sudewo tak kunjung keluar untuk menemui mereka. Situasi memanas tak terkendali. Massa mulai merangsek, menggoyang, dan akhirnya menjebol gerbang Pendopo Kabupaten. Botol air mineral dan batu pun melayang ke arah kantor bupati.
Aparat kepolisian yang berjaga terpaksa menembakkan gas air mata untuk memukul mundur kerumunan. Puncak kericuhan terjadi saat sebuah mobil provos milik Polres Grobogan yang terparkir di depan rumah dinas Kapolres dibakar oleh massa yang marah.
Koordinator lapangan dari Aliansi Masyarakat Pati Bersatu, dalam orasinya, menegaskan bahwa kesabaran warga telah habis.
"Bupati telah menyakiti hati rakyat Pati! Pernyataannya adalah bukti kesombongan dan ketidakpedulian. Hari ini, kami tidak lagi bicara soal pajak, kami menuntut Sudewo mundur!" pekiknya di atas mobil komando, disambut gemuruh massa.
Meski Sudewo telah membatalkan kebijakan PBB dan meminta maaf atas ucapannya beberapa hari sebelum aksi, publik terlanjur menilai langkah itu tidak tulus dan hanya bertujuan meredam gejolak. Tuntutan kini tunggal: pelengseran bupati.

Parlemen Bergerak: Hak Angket Sebagai Jalan Konstitusional

Rapat DPRD Pati terkait Penggunaan Hak Angket 

Merespons tekanan publik yang masif, DPRD Kabupaten Pati menggelar rapat pimpinan dan menyepakati langkah politik yang serius. Dipimpin oleh Ketua DPRD Ali Badrudin, mayoritas fraksi setuju untuk menggunakan hak angket guna menyelidiki kebijakan dan dugaan pelanggaran sumpah janji bupati.

"Ini rapat dengan momen yang sangat penting. Keputusan diambil sesuai tahapan yang berlaku. Kita sepakati penjadwalan dan usulan angket," kata Ali Badrudin setelah rapat.

Dukungan datang dari berbagai penjuru, termasuk dari partai yang sebelumnya menjadi pengusung Sudewo. Anggota Fraksi Demokrat, Joni Kurnianto, menjadi salah satu suara yang paling vokal di parlemen.

"Hak angket untuk Bupati karena telah sudah melanggar janji sumpah dari Bupati Pati. Dan muncul kegaduhan di Pati," tegas Joni dalam interupsinya saat rapat.

Ketua Fraksi PKS, Narso, menambahkan dimensi lain pada mosi tidak percaya ini. Menurutnya, masalah tidak hanya soal PBB dan pernyataan arogan, tetapi juga tata kelola pemerintahan yang bermasalah.

"Ada persoalan lain seperti pengisian jabatan direktur RSUD Soewondo yang janggal dan dugaan pergeseran anggaran tahun 2025 yang tidak transparan. Ini semua harus diusut tuntas," jelas Narso kepada wartawan.

Perlawanan dan Pembelajaran

Di tengah desakan mundur dan ancaman pemakzulan, Bupati Sudewo memilih bertahan. Ia menegaskan posisinya tidak akan goyah oleh tekanan massa maupun manuver politik di DPRD.

"Saya Dipilih Rakyat secara Konstitusional," ujarnya singkat namun tegas saat dimintai konfirmasi mengenai pengguliran hak angket.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengambil posisi netral namun memberi peringatan. Wakil Gubernur Taj Yasin menyebut peristiwa ini sebagai pelajaran mahal bagi semua kepala daerah.

"Aksi demo di Pati menjadi pembelajaran bagi para pemangku kebijakan untuk selalu mengutamakan aspirasi dan mendengarkan suara masyarakat. Jangan sampai ada Pati kedua," kata Wagub.

Krisis di Pati kini memasuki babak baru. Pertarungan antara tekanan jalanan dan perlawanan institusional akan diuji melalui Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPRD. Apapun hasilnya, peristiwa ini telah menjadi studi kasus nyata tentang bagaimana arogansi kekuasaan dan kegagalan komunikasi dapat meruntuhkan legitimasi seorang pemimpin yang dipilih secara demokratis.