Setiap pagi, jutaan dari kita membuka mata dan hal pertama yang kita raih adalah ponsel. Kita menggulir linimasa untuk melihat kabar terbaru, membaca berita dari portal media favorit, menonton video penjelasan tentang isu yang rumit, hingga berbagi opini di kolom komentar. Ruang digital—entah itu Instagram, X (dulu Twitter), YouTube, Facebook, atau TikTok—telah menjadi alun-alun publik kita yang baru. Di sinilah kita berkomunikasi, mendapatkan informasi, dan bahkan menyuarakan aspirasi. Kebebasan untuk berekspresi dan mendapatkan informasi di ruang ini terasa begitu alami, begitu menyatu dengan kehidupan sehari-hari, hingga kita mungkin lupa bahwa kebebasan itu bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya; ia harus terus-menerus dijaga.
Namun, sebuah peraturan baru yang terbit dalam senyap berpotensi mengubah lanskap kebebasan digital di Indonesia secara drastis. Namanya adalah Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kepmen Kominfo) Nomor 522 Tahun 2024. Di permukaan, peraturan ini terdengar seperti sebuah langkah maju yang wajar: upaya pemerintah untuk menertibkan dunia maya dari konten-konten berbahaya. Tapi jika kita gali lebih dalam, seperti yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam kertas kebijakannya, kita akan menemukan sebuah mekanisme yang bisa menjadi pedang bermata dua, yang jika salah digunakan, dapat membungkam suara-suara kritis, termasuk karya jurnalistik yang esensial bagi demokrasi.
Artikel ini akan membedah Kepmen Kominfo 522 dengan bahasa yang sederhana. Kita akan melihat apa sebenarnya isi peraturan ini, mengapa ia begitu mengkhawatirkan, dan bagaimana dampaknya tidak hanya mengancam kebebasan pers, tetapi juga hak setiap warga negara yang menggunakan internet untuk mencari kebenaran dan menyuarakan pendapat. Ini adalah cerita tentang bagaimana sebuah aturan administratif dapat menjadi ancaman baru yang mengintai di ujung jari kita semua.
Apa Sebenarnya Kepmen Kominfo 522?
Mari kita sederhanakan. Bayangkan pemerintah ingin membersihkan internet dari konten negatif. Tentu kita semua setuju bahwa konten seperti pornografi, perjudian, promosi terorisme, atau penipuan investasi ilegal harus diberantas. Kepmen Kominfo 522 adalah salah satu cara pemerintah untuk melakukannya. Aturan ini secara spesifik menargetkan entitas yang disebut Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat User Generated Content (UGC).
Jangan pusing dengan istilah teknisnya. PSE UGC ini sederhananya adalah platform-platform yang kita gunakan setiap hari, di mana kontennya dibuat oleh para penggunanya (user-generated). YouTube, Instagram, Facebook, X, dan TikTok adalah contoh utamanya. Konten di sana tidak dibuat oleh pemilik platform, melainkan oleh kita semua.
Inti dari Kepmen 522 adalah menempatkan tanggung jawab moderasi konten secara langsung di pundak para pengelola platform tersebut. Pemerintah, melalui Kominfo, kini memiliki kewenangan untuk memerintahkan platform-platform ini agar melakukan pemutusan akses (take down) atau menghapus konten yang dianggap melanggar hukum. Untuk memastikan perintah ini dipatuhi, pemerintah membangun sebuah sistem bernama Sistem Kepatuhan Moderasi Konten (SAMAN). Anggap saja SAMAN ini sebagai "sistem patroli digital" milik Kominfo.
Pada tahap awal uji coba, kategori konten yang menjadi target utama adalah enam jenis yang jelas-jelas berbahaya: pornografi, perjudian, terorisme, aktivitas keuangan ilegal, serta promosi makanan, obat, dan kosmetik ilegal. Sampai di sini, semuanya terdengar baik-baik saja, bukan? Siapa yang tidak setuju konten-konten tersebut harus dihapus? Namun, di sinilah letak "jebakan"-nya.
"Pasal Karet" di Dunia Digital
Masalah terbesar dari Kepmen 522 muncul ketika kita membaca lebih teliti. Aturan ini menyebutkan bahwa setelah tahap uji coba, cakupan konten yang bisa diperintahkan untuk dihapus akan diperluas hingga mencakup "seluruh kategori Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan."
Kalimat inilah yang menjadi sumber kekhawatiran utama. Frasa ini sangat luas, tidak spesifik, dan tidak memberikan batasan yang jelas. Ia membuka pintu bagi lahirnya sebuah "pasal karet" versi digital. Tanpa definisi yang rinci, kaku, dan akuntabel tentang apa persisnya "konten yang dilarang" itu, kewenangan untuk menafsirkan jatuh sepenuhnya ke tangan pemerintah. Secara subjektif, pemerintah bisa melabeli konten apa pun sebagai "terlarang" berdasarkan interpretasi mereka terhadap berbagai undang-undang yang ada.
Di sinilah ancaman terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi menjadi nyata. Mari kita bayangkan beberapa skenario:
- Sebuah media melakukan investigasi mendalam dan mengungkap dugaan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi. Laporan ini dipublikasikan dalam bentuk video di YouTube dan artikel di situs web mereka, lalu disebar melalui X dan Facebook. Pihak yang merasa dirugikan bisa saja melaporkan konten ini dengan dalih "menyebarkan kebencian" atau "informasi bohong" berdasarkan UU ITE. Dengan Kepmen 522, Kominfo bisa langsung memerintahkan YouTube, X, dan Facebook untuk menghapus konten tersebut tanpa melalui proses pengadilan atau mekanisme sengketa pers di Dewan Pers.
- Sekelompok aktivis lingkungan membuat konten di Instagram yang mengkritik kebijakan pemerintah terkait izin tambang yang merusak alam. Konten tersebut viral dan memicu diskusi publik yang luas. Pemerintah bisa saja menganggap konten ini "meresahkan masyarakat" atau "menghasut", dan memerintahkan Instagram untuk menurunkannya.
- Sebuah akun edukasi sejarah seperti @neohistoria_id, yang pernah mengalami pelaporan dari pemerintah, mengunggah utas tentang sisi kelam sebuah peristiwa sejarah. Jika ada pihak yang merasa narasi ini "mengganggu ketertiban umum", konten edukatif tersebut bisa lenyap dalam sekejap.
Seperti yang diperingatkan oleh AJI, formulasi yang kabur ini "melahirkan interpretasi yang sangat luas dan subyektif atas muatan berita, opini, dan konten investigasi." Ini akan menciptakan apa yang disebut chilling effect atau efek gentar. Platform digital, karena diancam sanksi denda yang tidak sedikit, akan cenderung bermain aman. Mereka lebih baik menghapus sebuah konten yang dilaporkan daripada mengambil risiko berdebat dengan regulator dan didenda. Akibatnya, media dan masyarakat akan mulai melakukan swasensor (self-censorship). Mereka akan berpikir dua, tiga, atau bahkan sepuluh kali sebelum mengunggah sesuatu yang bersifat kritis atau sensitif.
Mekanisme Sensor dan "Denda Viralitas"
Kepmen 522 tidak hanya memberikan kewenangan, tetapi juga menciptakan mekanisme yang sangat efisien untuk melakukan pemutusan akses. Prosesnya bisa berjalan sangat cepat. Kominfo dapat memerintahkan PSE untuk menghapus konten dengan tenggat waktu yang singkat: hanya 4 jam untuk konten yang dianggap mendesak dan 24 jam untuk konten biasa.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah formula perhitungan sanksi dendanya. Salah satu variabel utama dalam menentukan besaran denda adalah "indeks viralitas". Artinya, semakin banyak sebuah konten diakses atau diunduh oleh publik, semakin besar pula denda yang akan dijatuhkan kepada platform jika mereka gagal menghapusnya tepat waktu.
Ini adalah sebuah logika yang berbahaya. Dalam dunia jurnalistik dan aktivisme, viralitas sering kali menjadi indikator bahwa sebuah informasi penting dan berhasil menjangkau publik luas. Namun, dengan aturan ini, viralitas justru menjadi pemberat hukuman. Konten investigasi yang paling berhasil dan paling banyak dibaca publik justru akan menjadi konten yang paling berisiko bagi platform yang menayangkannya.
Hal ini secara efektif menempatkan platform digital dalam posisi sulit. Mereka dipaksa menjadi perpanjangan tangan regulator, menjadi hakim atas konten-konten yang tayang di tempat mereka. Lebih parah lagi, mekanisme ini sama sekali tidak melibatkan Dewan Pers. Padahal, menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, sengketa yang berkaitan dengan karya jurnalistik seharusnya diselesaikan melalui Dewan Pers. Kepmen 522 menciptakan jalan pintas administratif yang melompati benteng pertahanan kebebasan pers tersebut. Ini adalah bentuk "pembredelan digital"; sebuah cara membungkam karya jurnalistik tanpa perlu mengirim aparat ke kantor media, cukup dengan mengirimkan perintah take down ke platform digital.
Demokrasi di Ujung Tanduk
Ancaman yang dibawa oleh Kepmen Kominfo 522 bukanlah isapan jempol belaka. Kita sudah melihat beberapa contoh bagaimana regulasi digital digunakan untuk membatasi ekspresi. Kasus pelaporan konten edukasi sejarah oleh Kominfo ke platform X adalah bukti nyata bahwa pemerintah secara aktif memantau dan bertindak terhadap konten yang dianggap tidak sejalan. Kepmen 522 akan memberikan "gigi" dan kecepatan pada tindakan-tindakan semacam itu.
Pada akhirnya, isu ini bukan hanya tentang nasib para jurnalis atau media. Ini adalah tentang hak kita semua sebagai warga negara. Hak untuk mendapatkan informasi yang beragam dan tidak disensor, hak untuk mendengar suara-suara kritis yang berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan, dan hak untuk berpartisipasi dalam diskursus publik tanpa rasa takut.
Ketika platform lebih memilih untuk menghapus konten kritis demi menghindari denda, maka yang hilang adalah informasi penting bagi publik. Ketika jurnalis dan aktivis mulai ragu-ragu untuk menyuarakan kebenaran, maka yang dirugikan adalah kualitas demokrasi kita. Alun-alun digital yang seharusnya menjadi ruang diskusi yang hidup dan sehat bisa berubah menjadi ruang gema yang hanya diisi oleh suara-suara yang "aman" dan seragam.
Kepmen Kominfo 522, dengan niat baiknya untuk memberantas konten negatif, ternyata membawa potensi kerusakan kolateral yang sangat besar terhadap pilar-pilar demokrasi. Sudah saatnya kita sebagai publik digital menyadari bahwa kebebasan di dunia maya bukanlah sesuatu yang δεδομένο. Ia perlu dipahami, diperjuangkan, dan dilindungi dari regulasi-regulasi yang, di balik selubung ketertiban, menyembunyikan potensi untuk membungkam.