Revisi UU TNI 2025 dan Putusan MK, Analisis Lengkap Ancaman terhadap Demokrasi



Di tengah dinamika politik nasional, pengesahan revisi UU TNI menjadi salah satu isu paling krusial di tahun 2025. Proses legislasi yang dinilai terburu-buru hingga substansi yang dianggap membangkitkan kembali "Dwifungsi ABRI" gaya baru telah memicu perdebatan sengit di ruang publik. Puncaknya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji formil terhadap undang-undang ini, sebuah keputusan yang memberikan legitimasi yudisial di tengah kritik deras dari masyarakat sipil.

Artikel ini akan mengupas secara mendalam seluruh aspek kontroversi revisi UU TNI 2025, mulai dari poin-poin perubahan yang paling disorot, analisis kritis terhadap proses legislasi, signifikansi putusan MK yang diwarnai dissenting opinion, hingga dampaknya yang mengancam pilar-pilar demokrasi dan supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak Reformasi 1998.

Apa Itu Revisi UU TNI dan Mengapa Menjadi Sorotan?

Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) merupakan perubahan atas UU TNI No. 34 Tahun 2004, sebuah produk hukum fundamental yang menjadi penanda reformasi sektor keamanan pasca-Orde Baru. UU No. 34 Tahun 2004 secara tegas membatasi peran TNI pada fungsi pertahanan negara dan menempatkannya di bawah kontrol kepemimpinan sipil.

Namun, RUU TNI yang kemudian disahkan menjadi UU baru di tahun 2025 memuat sejumlah perubahan yang dianggap mengembalikan TNI ke ranah sosial-politik, sebuah langkah mundur yang membahayakan tatanan demokrasi. Proses pembahasannya yang tertutup dan minim partisipasi publik semakin memperkuat dugaan adanya agenda terselubung untuk memperkuat kekuasaan oligarki dengan mengorbankan supremasi sipil.

Poin-Poin Krusial dan Kontroversial dalam Revisi UU TNI Terbaru

Analisis terhadap draf UU TNI terbaru menunjukkan beberapa pasal yang menjadi sumber utama kekhawatiran publik. Poin-poin ini secara langsung berpotensi mengikis batas antara domain sipil dan militer.

1. Perpanjangan Usia Pensiun Prajurit

Salah satu perubahan paling mencolok adalah perpanjangan batas usia pensiun bagi perwira dan bintara/tamtama.

  • Perwira: Usia pensiun diperpanjang hingga 60 tahun.
  • Bintara dan Tamtama: Usia pensiun diperpanjang hingga 58 tahun.

Mengapa ini menjadi masalah? Kritikus berpendapat bahwa perpanjangan usia pensiun ini akan menyebabkan penumpukan perwira non-job di dalam struktur TNI. Sebagai "solusinya", revisi ini juga memperluas kemungkinan bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan di kementerian/lembaga sipil, yang mengarah pada poin kontroversial berikutnya.

2. Perluasan Jabatan Sipil untuk Prajurit TNI Aktif

Ini adalah jantung dari kontroversi. Revisi UU TNI memperluas daftar kementerian dan lembaga negara yang bisa diisi oleh prajurit TNI aktif. Jika sebelumnya terbatas pada 10 instansi yang memiliki kaitan dengan fungsi pertahanan (seperti Kemenko Polhukam, Lemhannas, dll.), kini pintu dibuka lebih lebar.

Dampaknya adalah potensi kembalinya "dwifungsi" di mana militer tidak hanya mengurus pertahanan, tetapi juga turut serta dalam urusan pemerintahan sipil. Hal ini mengancam profesionalisme TNI dan birokrasi sipil, serta menciptakan potensi konflik kepentingan yang besar.

3. Kewenangan Operasi Militer Selain Perang (OMSP)

Revisi ini memberikan kewenangan lebih besar kepada TNI dalam menjalankan OMSP, yang sering kali bersinggungan langsung dengan keamanan dalam negeri—domain utama UU Polri. Aturan yang lebih fleksibel ini dikhawatirkan dapat digunakan untuk mengatasi masalah-masalah sosial dan politik dengan pendekatan militer, seperti penanganan unjuk rasa atau konflik agraria, yang berisiko tinggi melanggar hak asasi manusia.

4. Bisnis Militer yang Terselubung

Meskipun UU No. 34 Tahun 2004 mengamanatkan pengambilalihan bisnis TNI oleh pemerintah, praktiknya masih menyisakan banyak persoalan. Revisi UU TNI 2025 tidak memperkuat mandat ini, justru dikhawatirkan melanggengkan praktik bisnis militer melalui koperasi dan yayasan, yang sulit diawasi dan berpotensi menjadi sumber korupsi serta kekuatan ekonomi-politik di luar kontrol negara.

Proses Legislasi "Ugal-ugalan" dan Gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK)

Kritik utama tidak hanya terletak pada substansi, tetapi juga pada proses pembentukan UU TNI 2025. Koalisi masyarakat sipil menilainya sebagai proses legislasi yang cacat formil karena beberapa alasan:

  • Minim Partisipasi Publik: Pembahasan dilakukan secara tertutup dan tergesa-gesa, mengabaikan masukan dari akademisi, aktivis, dan masyarakat luas.
  • Naskah Akademik yang Bermasalah: Landasan sosiologis dan filosofis dari perubahan ini dianggap tidak kuat dan lebih terkesan sebagai justifikasi atas kepentingan politik tertentu.
  • Pembahasan Cepat dan Senyap: Proses di DPR berjalan sangat cepat, menimbulkan kecurigaan bahwa ini adalah bagian dari "paket" legislasi yang dipaksakan oleh elite politik.

Atas dasar cacat prosedur inilah, gugatan uji formil dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Harapannya, MK sebagai penjaga konstitusi dapat membatalkan undang-undang tersebut karena proses pembentukannya yang tidak sejalan dengan prinsip negara hukum yang demokratis.

Legitimasi Kontroversial dan Suara Dissenting Opinion

Pada akhirnya, MK menolak permohonan uji formil tersebut. Dalam putusan mayoritas, lima hakim konstitusi berpendapat bahwa DPR dan Pemerintah telah memenuhi syarat formil dalam pembentukan undang-undang, meskipun mengakui adanya kekurangan dalam aspek partisipasi publik.

Namun, putusan ini tidak bulat. Empat hakim konstitusi memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) yang sangat kuat.

Makna Penting Dissenting Opinion 4 Hakim MK

  • Menyoroti Cacat Substansial: Keempat hakim ini berpendapat bahwa proses yang minim partisipasi bukanlah sekadar pelanggaran prosedur minor, melainkan sebuah cacat substansial yang mengkhianati kedaulatan rakyat.
  • Legislasi "Top-Down": Mereka menyoroti bahwa proses legislasi berjalan secara elitis dan dari atas ke bawah (top-down), bukan menyerap aspirasi publik.
  • Peringatan bagi Demokrasi: Dissenting opinion ini menjadi catatan sejarah penting yang menegaskan bahwa dari internal lembaga peradilan tertinggi pun, ada kekhawatiran serius terhadap arah legislasi yang membahayakan demokrasi.

Keputusan mayoritas hakim MK, terlepas dari adanya dissenting opinion, secara efektif memberikan stempel legalitas pada revisi UU TNI. Bagi para penentangnya, ini adalah "palu MK untuk oligarki," sebuah keputusan yang lebih memprioritaskan stabilitas politik versi penguasa ketimbang melindungi konstitusi dan semangat reformasi.

Dampak dan Implikasi Revisi UU TNI Bagi Indonesia

Legitimasi UU TNI terbaru ini membawa serangkaian implikasi serius yang akan dirasakan dalam jangka panjang.

Ancaman terhadap Supremasi Sipil

Ini adalah dampak paling fundamental. Penempatan militer aktif di jabatan sipil akan mengaburkan hierarki dan kontrol sipil atas militer, sebuah pilar utama demokrasi yang telah dibangun susah payah sejak era Reformasi.

Penurunan Profesionalisme TNI

TNI berisiko menurun profesionalismenya karena akan kembali ditarik ke dalam pusaran politik praktis dan urusan non-pertahanan. Hal ini dapat mengganggu fokus utamanya sebagai alat pertahanan negara yang modern dan disegani.

Peningkatan Risiko Pelanggaran HAM

Potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) meningkat, terutama dengan pelibatan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang menyentuh ranah keamanan dalam negeri. Pendekatan militeristik dalam penanganan konflik sosial sangat rentan terhadap penggunaan kekerasan.

Pelemahan Pemberantasan Korupsi

Upaya pemberantasan korupsi akan semakin sulit. Ranah militer yang cenderung tertutup, ditambah potensi bisnis militer yang tidak transparan, menciptakan celah besar bagi praktik korupsi yang sulit dijangkau oleh lembaga penegak hukum sipil seperti KPK.

Regresi Iklim Demokrasi

Secara keseluruhan, iklim demokrasi akan mengalami kemunduran atau regresi. Ruang gerak masyarakat sipil, mahasiswa, dan kelompok oposisi berpotensi menyempit karena adanya "ancaman" intervensi dari aparat keamanan dengan dalih menjaga stabilitas nasional.

Arah Demokrasi Indonesia Pasca Putusan UU TNI

Putusan MK atas revisi UU TNI menandai sebuah babak baru yang penuh tantangan bagi demokrasi Indonesia. Legitimasi hukum telah diberikan, namun legitimasi sosial dan politiknya akan terus dipertanyakan. Peran masyarakat sipil menjadi semakin vital untuk:

  1. Mengawasi Implementasi: Memantau secara ketat setiap penempatan prajurit TNI di jabatan sipil dan pelaksanaan OMSP.
  2. Mendorong Revisi Balik: Terus menyuarakan argumen dan data untuk mendorong adanya revisi kembali di masa depan yang mengembalikan UU TNI ke khitah reformasi.
  3. Memperkuat Konsolidasi: Membangun aliansi yang lebih luas antara akademisi, mahasiswa, aktivis, dan media untuk menjadi kekuatan penyeimbang yang solid terhadap kekuasaan.

Kontroversi revisi UU TNI 2025 dan putusan MK yang melegitimasinya adalah cerminan dari pertarungan besar antara agenda reformasi demokrasi melawan kepentingan konsolidasi kekuasaan oligarki. Meskipun secara formil telah sah, substansi undang-undang ini menyimpan bara api yang dapat membakar pilar-pilar supremasi sipil dan profesionalisme TNI.

Perjalanan demokrasi Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Apakah ia akan terus melaju di jalur reformasi atau berbelok kembali ke lorong gelap otoritarianisme, jawabannya akan sangat bergantung pada seberapa kuat masyarakat sipil mampu mengawal dan melawan kebijakan yang mengancam masa depan bangsa. Perdebatan seputar UU TNI terbaru ini belum berakhir; ia baru saja memasuki arena pertarungan yang baru.