Makan Bergizi Gratis, Kenaikan Gaji ASN, dan Strategi Ekonomi Politik



Penerbitan Perpres 79 Tahun 2025 bukan sekadar pembaruan administratif, melainkan sebuah deklarasi arah kebijakan fundamental yang mengubah Rencana Kerja Pemerintah (RKP) menjadi manifesto politik-ekonomi. Lewat "8 Program Hasil Terbaik Cepat," Perpres ini menjadi etalase agenda populis. Namun, di balik janji kesejahteraan seperti program makan siang gratis dan pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN), terbentang tantangan kompleks terkait dampak APBN 2025 dan risiko implementasi. Lantas, apa isi Perpres 79 tahun 2025 dan bagaimana kalkulasi politik di baliknya?


Delapan Program Andalan

Setiap program prioritas ini adalah instrumen dengan tujuan ganda: memenuhi kebutuhan dasar sekaligus membangun loyalitas politik yang kuat di awal masa jabatan.

Program Populis Berbiaya Tinggi

Fokus utama pada Makan Siang dan Susu Gratis serta kenaikan gaji ASN, TNI/Polri adalah pilar utama dari strategi ini. Program makan siang gratis, yang menyasar puluhan juta siswa, adalah intervensi sosial berskala masif. Secara ekonomi, program ini dijanjikan menggerakkan ekonomi lokal. Namun, tantangan program makan siang gratis sangatlah fundamental:

  • Beban Fiskal: Ini adalah komitmen belanja permanen yang akan membebani APBN hingga ratusan triliun rupiah setiap tahunnya.
  • Tantangan Logistik: Bagaimana memastikan kualitas gizi yang seragam dari Sabang sampai Merauke? Dan bagaimana mekanisme pengadaan yang transparan untuk mencegah korupsi massal? Tanpa pengawasan ketat, program ini bisa menjadi "proyek abadi" yang rawan penyelewengan.

Sementara itu, kenaikan gaji aparatur negara adalah langkah cerdas untuk mengamankan loyalitas dari tulang punggung birokrasi dan pertahanan. Namun, pertanyaan kritisnya adalah, apakah ini akan diimbangi dengan reformasi birokrasi yang nyata, atau hanya menjadi "gula-gula" politik tanpa dampak produktivitas yang sepadan?

Investasi SDM dan Jaring Pengaman Sosial

Pemerintah melanjutkan investasi esensial dalam SDM melalui pemeriksaan kesehatan gratis, pembangunan sekolah unggul, dan kelanjutan kartu kesejahteraan sosial. Pembangunan sekolah unggul di setiap kabupaten adalah janji mulia, tetapi krisis sebenarnya terletak pada distribusi dan kualitas guru, kurikulum, serta ekosistem pendidikan. Tanpa pembenahan di sisi non-fisik, sekolah unggul berisiko menjadi monumen kosong. Demikian pula dengan efektivitas bansos yang terus dihantui masalah klasik akurasi data sasaran (DTKS), yang berisiko tinggi menyebabkan inefisiensi anggaran dan ketidakadilan sosial.

Pangan dan Desa sebagai Bantalan

Upaya menjaga stabilitas difokuskan pada ketahanan pangan melalui lumbung pangan (food estate) dan pembangunan infrastruktur desa. Konsep food estate perlu evaluasi kritis agar tidak mengulangi kegagalan proyek serupa di masa lalu, yang sering terkendala ketidaksesuaian lahan, masalah ekologis, hingga konflik sosial dengan masyarakat adat. Di sisi lain, kelanjutan dana desa adalah kebijakan yang terbukti berdampak positif, asalkan dikelola dengan transparan dan partisipatif.

Badan Penerimaan Negara sebagai Mesin Uang

Untuk mendanai semua ambisi ini, pertaruhan terbesar adalah pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN), sebuah perubahan kelembagaan yang radikal. BPN direncanakan sebagai lembaga super yang ditargetkan menaikkan rasio penerimaan terhadap PDB hingga 23%—target yang sangat ambisius dari posisi saat ini sekitar 10%. Kegagalan BPN mencapai target fantastis ini akan meruntuhkan seluruh arsitektur fiskal dalam analisis RKP 2025, dan berisiko menciptakan iklim ketidakpastian bagi dunia usaha akibat langkah penagihan yang terlalu agresif.

Menimbang Risiko di Balik Agenda Populis

Di balik narasi kesejahteraan, analisis yang lebih dalam menyingkapkan empat dimensi risiko yang krusial.

Ancaman Keberlanjutan Fiskal

Ini adalah risiko paling fundamental. Beban belanja permanen menciptakan kekakuan (rigidity) dalam APBN. Jika target penerimaan BPN yang hiper-optimistis meleset, pemerintah akan terjebak dalam dilema: memotong anggaran produktif atau membiarkan defisit melebar. Melebarnya defisit secara konsisten akan memicu "lingkaran setan utang", di mana utang baru dipakai untuk membayar utang lama, yang dapat berujung pada penurunan peringkat kredit (downgrade). Ini adalah risiko fiskal RKP 2025 yang paling nyata.

Risiko Implementasi dan Tata Kelola

Program berskala nasional seperti makan siang gratis adalah sebuah "monster logistik" yang membuka "kotak pandora" potensi korupsi. Rantai pasoknya yang panjang menciptakan jutaan titik rawan. Lebih jauh lagi, kapasitas pemerintah daerah yang tidak merata akan menciptakan ketimpangan kualitas layanan publik yang tajam di seluruh Indonesia.

Alokasi sumber daya masif ke program yang mayoritas bersifat konsumtif secara inheren mengurangi porsi anggaran untuk investasi jangka panjang seperti riset, teknologi, dan transisi energi terbarukan. Dalam ekonomi, ini disebut opportunity cost. Dengan memprioritaskan "roti" hari ini, pemerintah berisiko mengorbankan "pabrik roti" untuk hari esok, yang dapat menentukan nasib Indonesia keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah.

Tidak bisa dipungkiri, Perpres ini adalah alat yang sangat efektif untuk konsolidasi kekuasaan. Program yang menyentuh langsung hajat hidup orang banyak menciptakan hubungan patronase, di mana rakyat dan birokrasi merasa "berutang budi" pada penguasa. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi melemahkan mekanisme checks and balances yang esensial bagi demokrasi.

Pertaruhan Besar di Persimpangan Jalan

Perpres 79 Tahun 2025 adalah sebuah pertaruhan tingkat tinggi. Ini adalah cerminan pilihan ideologis bahwa negara harus hadir secara masif dalam kehidupan warganya. Jika berhasil, ia bisa menjadi warisan monumental. Namun, jika gagal ia berpotensi menjerumuskan Indonesia ke dalam krisis fiskal.

Keberhasilan RKP 2025 ini menjadi ujian sesungguhnya bagi pemerintahan baru. Pertanyaannya bukan lagi "apa" yang akan dilakukan, melainkan "bagaimana" semua itu akan didanai secara berkelanjutan, dilaksanakan secara efektif, dan diawasi secara ketat. Jawaban atas pertanyaan "bagaimana" inilah yang akan menentukan nasib perekonomian bangsa ke depan.

Post a Comment

Previous Post Next Post