Patriarki di Dunia Kerja: Analisis Materialisme Historis dari Akar hingga Kapitalisme Kontemporer

Sistem Patriarki Dalam Dunia Kerja

Subordinasi dan eksploitasi yang dialami perempuan adalah konsekuensi dari sistem patriarki di dunia kerja, yang berakar pada struktur masyarakat kelas dan diperparah oleh kapitalisme. Artikel ini mengupas tuntas bentuk patriarki terselubung menggunakan kerangka feminisme Marxis, melacak akarnya, menjelaskan hubungannya dengan kapitalisme, dan menganalisis manifestasinya di Indonesia. Penindasan gender dan kelas saling terkait, membentuk sistem "patriarki kapitalis" di mana eksploitasi perempuan menjadi bagian integral dari fungsi sistem itu sendiri.

Apa Itu Bentuk Patriarki Terselubung di Dunia Kerja?

Patriarki terselubung adalah praktik, norma, dan bias berbasis gender yang tidak kentara namun meresap kuat di lingkungan kerja, menciptakan hambatan sistemik bagi perempuan. Berbeda dari diskriminasi terang-terangan, bentuk ini sering kali tersembunyi dalam budaya perusahaan, ekspektasi sosial, dan interaksi sehari-hari yang menormalkan ketidaksetaraan. Friedrich Engels dalam karyanya The Origin of the Family, Private Property and the State meletakkan dasar analisis materialis bahwa penindasan perempuan bukanlah takdir biologis, melainkan produk dari perkembangan sosial-ekonomi, khususnya kemunculan kepemilikan pribadi yang mengubah struktur keluarga menjadi patriarkal untuk tujuan pewarisan kekayaan.

Bentuk-Bentuk Diskriminasi Perempuan di Kantor

Diskriminasi di tempat kerja sering kali tidak disadari karena telah menjadi bagian dari budaya kerja toksik. Berikut adalah beberapa bentuk umum yang sering terjadi.

Komentar & Candaan Seksis di Lingkungan Kerja

Humor yang merendahkan atau menjadikan gender sebagai objek adalah salah satu bentuk diskriminasi yang paling umum. Meskipun sering dianggap "hanya bercanda", komentar seksis menciptakan lingkungan kerja yang tidak nyaman dan tidak aman bagi perempuan, serta melanggengkan stereotip berbahaya yang meremehkan kompetensi mereka.

Ekspektasi Ganda dan Beban Tak Terlihat pada Karier Perempuan

Perempuan sering diharapkan untuk mengambil tugas-tugas komunal yang tidak diakui atau dihargai, seperti mengatur acara kantor atau mencatat notulensi rapat—pekerjaan yang dianggap sebagai perpanjangan peran domestik. Selain itu, mereka menghadapi ekspektasi ganda: harus bersikap tegas untuk dianggap kompeten, namun sering dicap "agresif" jika melakukannya, sementara pria dengan sikap yang sama dianggap sebagai pemimpin.

Stigma Perempuan Menikah dan Berkarier

Banyak perusahaan secara implisit memandang perempuan yang sudah menikah atau memiliki anak sebagai pekerja yang kurang berkomitmen. Asumsi ini berdampak pada proses rekrutmen, promosi, dan pemberian tanggung jawab. Perempuan sering kali "dihukum" secara karier karena peran reproduktif mereka, sebuah fenomena yang berakar pada ideologi keluarga nuklir di mana perempuan dianggap sebagai pengurus rumah tangga utama.

Ketimpangan Gender dalam Representasi Perempuan di Kepemimpinan

Data secara konsisten menunjukkan bahwa perempuan sangat kurang terwakili di posisi manajerial dan eksekutif. Di Indonesia, perempuan hanya menempati sekitar seperempat dari posisi manajerial. Hambatan ini dikenal sebagai "langit-langit kaca" (glass ceiling), sebuah penghalang tak terlihat yang menghalangi kemajuan karier perempuan akibat bias dan praktik struktural, bukan karena kurangnya kualifikasi atau ambisi.

Dampak Kapitalisme terhadap Perempuan Pekerja

Kapitalisme secara dinamis mengadopsi dan membentuk ulang hierarki gender untuk tujuan akumulasi modal. Dalam sistem ini, perempuan sering difungsikan sebagai "pasukan cadangan tenaga kerja": sumber tenaga kerja murah dan fleksibel yang dapat ditarik saat dibutuhkan dan didorong kembali ke ranah domestik saat resesi. Selain itu, kerja reproduktif tak berbayar di rumah (memasak, membersihkan, merawat anak) menjadi subsidi raksasa bagi kapitalisme, karena memungkinkan perusahaan membayar upah lebih rendah dari biaya total reproduksi tenaga kerja yang sesungguhnya.

Ketidaksetaraan Upah & Segregasi Kerja

Kondisi perempuan pekerja di Indonesia menjadi cerminan nyata dari sistem patriarki kapitalis. Kesenjangan upah gender yang persisten bukanlah anomali, melainkan fitur sistemik. Kesenjangan ini diperparah oleh segregasi pekerjaan horizontal dan vertikal. Secara horizontal, perempuan terkonsentrasi di sektor "pekerjaan kerah merah muda" (pink-collar jobs) seperti garmen, pelayanan, dan perawatan—sektor-sektor yang secara historis dinilai lebih rendah (undervalued) dan upahnya ditekan. Secara vertikal, perempuan menghadapi "langit-langit kaca" yang membatasi akses mereka ke posisi kepemimpinan.

Lebih jauh lagi, sektor-sektor paling rentan dalam ekonomi Indonesia didominasi oleh perempuan. Jutaan perempuan bekerja sebagai buruh garmen, Pekerja Migran Indonesia (PMI), dan Pekerja Rumah Tangga (PRT), di mana mereka menghadapi kondisi kerja eksploitatif, jam kerja panjang, upah di bawah standar kelayakan, dan perlindungan hukum yang sangat minim. Kelompok pekerja ini seringkali berada di luar jangkauan regulasi ketenagakerjaan formal, menjadikan mereka target empuk eksploitasi ekstrem yang menopang akumulasi modal.

Cara Menghadapi Diskriminasi di Tempat Kerja

Menghadapi diskriminasi membutuhkan keberanian dan strategi. Berikut adalah langkah-langkah yang bisa diambil sebagai panduan cara menghadapi diskriminasi di kantor:

  1. Kenali dan Dokumentasikan:Catat setiap insiden diskriminatif secara detail, termasuk tanggal, waktu, tempat, pihak yang terlibat, dan saksi mata. Dokumentasi ini sangat penting sebagai bukti.
  2. Pahami Hak dan Kebijakan: Pelajari undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia (UU No. 13 Tahun 2003) dan kebijakan internal perusahaan mengenai anti-diskriminasi dan pelecehan.
  3. Cari Dukungan: Bicaralah dengan rekan kerja yang kamu percaya atau cari aliansi di tempat kerja. Memiliki dukungan dapat menguatkan posisimu dan memberikan perspektif lain.
  4. Laporkan Secara Formal: Jika merasa cukup kuat, laporkan insiden tersebut melalui saluran yang tepat, seperti atasan langsung (jika bukan pelaku), departemen SDM (HRD), atau serikat pekerja.
  5. Eskalasi ke Pihak Eksternal: Jika laporan internal tidak ditanggapi, pertimbangkan untuk melapor ke lembaga eksternal seperti Dinas Ketenagakerjaan atau lembaga bantuan hukum yang fokus pada hak-hak pekerja.

Bagi perusahaan, menciptakan lingkungan kerja yang adil adalah tanggung jawab utama. Ini bisa dilakukan dengan menerapkan kebijakan anti-diskriminasi yang jelas, mengadakan pelatihan kesadaran gender secara rutin, dan membangun mekanisme pelaporan yang aman dan transparan.

Melawan Patriarki Kapitalis untuk Kesetaraan

Pembebasan perempuan dari patriarki di dunia kerja tidak bisa dipisahkan dari perjuangan melawan sistem kapitalis yang mengambil untung dari penindasan tersebut. Perjuangan ini menuntut pengakuan dan reorganisasi kerja reproduktif sebagai tanggung jawab sosial, bukan beban individu. Dengan membangun solidaritas kelas yang sadar gender dan menantang pembagian kerja yang tidak adil baik di ranah publik maupun domestik, jalan menuju kesetaraan sejati dapat diwujudkan.