Kebijakan hilirisasi nikel Indonesia kerap ditampilkan sebagai kisah sukses pembangunan, sebuah narasi agung yang selaras dengan pilar utama dari analisis ekonomi-politik Perpres 79/2025. Pemerintah, melalui Kementerian Investasi/BKPM, secara konsisten melukiskan gambaran optimisme: investasi triliunan rupiah yang memecahkan rekor, pertumbuhan ekonomi regional yang meroket, dan serapan tenaga kerja massal. Hilirisasi diposisikan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang akan mengubah takdir bangsa, dari sekadar pengekspor tanah mentah menjadi pemain utama dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik global. Namun, di balik narasi resmi yang gemerlap, data dari lapangan yang dihimpun oleh JATAM dan WALHI menceritakan kisah yang sama sekali berbeda, sebuah antitesis dari janji kemakmuran.
Di balik angka-angka fantastis, terdapat sebuah paradoks—sebuah model pembangunan predatoris yang secara sistematis menginternalisasi keuntungan bagi segelintir elite korporasi dan politik, sembari melimpahkan biaya sosial dan ekologis yang menghancurkan kepada masyarakat lokal. Ini bukan sekadar dampak sampingan; ini adalah fitur desain dari model pembangunan yang kita saksikan.
Euforia Pertumbuhan Ekonomi Nikel yang Fantastis
Tidak bisa dipungkiri, narasi keberhasilan hilirisasi nikel berakar pada data pertumbuhan fenomenal yang seringkali dijadikan justifikasi tunggal atas segala ongkos yang ditimbulkan. Provinsi yang menjadi pusat industri seperti Maluku Utara dan Sulawesi Tengah mencatatkan kinerja Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang luar biasa:
- Maluku Utara: Didorong oleh Kawasan Industri Weda Bay (IWIP), ekonomi provinsi ini melesat 34,58% pada Triwulan I 2025, sebuah anomali statistik global yang bahkan melampaui negara dengan pertumbuhan tercepat sekalipun.
- Sulawesi Tengah: Sebagai rumah bagi kawasan industri Morowali (IMIP), salah satu hub smelter nikel terbesar di dunia, ekonominya tumbuh impresif 8,69%, jauh melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.
Pertumbuhan ini adalah buah dari ledakan investasi yang pada semester I 2025 saja menembus Rp 942,9 triliun. Namun, struktur pertumbuhan ini sangat rapuh dan menciptakan ilusi kemakmuran. Ia melahirkan apa yang oleh para ekonom disebut ekonomi kantong (enclave economy). Artinya, kawasan industri modern ini beroperasi layaknya sebuah gelembung yang terisolasi dari ekonomi kerakyatan di sekitarnya. Rantai pasoknya didatangkan dari luar, tenaga kerja terampilnya bukan penduduk lokal, dan keuntungannya direpatriasi ke negara investor. Petani dan nelayan lokal tidak menjadi pemasok, melainkan penonton dari kemegahan industri yang merampas tanah dan laut mereka. Struktur ini dikendalikan oleh segelintir oligarki nikel yang memiliki koneksi erat dengan kekuasaan politik, memastikan kebijakan selalu menguntungkan mereka.
Ilusi Kesejahteraan dan Biaya Sosial-Ekologis yang Menghancurkan
Jika wajah pertama adalah tentang angka-angka PDRB yang memukau, wajah kedua adalah tentang penderitaan manusia, kehancuran lingkungan, dan erosi demokrasi. Di sinilah paradoks dampak hilirisasi nikel menjadi sangat nyata dan menyakitkan.
Kemiskinan Struktural dan Ketimpangan yang Menganga di Maluku Utara & Sulawesi Tengah
Asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi akan otomatis menetes ke bawah (trickle-down effect) terbantahkan secara telak oleh data di lapangan. Di tengah gembar-gembor pertumbuhan ekonomi Morowali dan sekitarnya, angka kemiskinan di Sulawesi Tengah masih stagnan di 10,92%, secara konsisten lebih tinggi dari rata-rata nasional. Ironisnya, studi JATAM menunjukkan laju penurunan angka kemiskinan di era hilirisasi (2014-2024) justru melambat drastis hingga 50% dibandingkan era pra-hilirisasi (2004-2014). Pertumbuhan ada, tapi hanya untuk segelintir orang.
Ketimpangan (Rasio Gini) di perdesaan Sulawesi Tenggara bahkan meningkat dari 0,332 menjadi 0,336. Ini bukan sekadar angka statistik. Ini berarti di desa-desa lingkar tambang, segelintir orang yang menjual tanahnya menjadi kaya mendadak, sementara mayoritas tetangganya yang kehilangan lahan pertanian dan perairan bersih, jatuh lebih miskin. Manfaat ekonomi hanya terpusat di elite, menciptakan kecemburuan sosial yang siap meledak kapan saja.
Menciptakan "Zona Pengorbanan Hijau"
Transisi energi hijau yang digadang-gadang global untuk menyelamatkan planet, ironisnya, ditenagai oleh proses industrialisasi paling polutif di Indonesia, yang secara efektif menciptakan "zona pengorbanan".
- Deforestasi Massif dan Permanen: Lebih dari 500.000 hektar, setara dengan delapan kali luas DKI Jakarta, hutan primer dan sekunder di Sulawesi telah dibabat habis untuk tambang nikel. Ini bukan sekadar kehilangan pohon, ini adalah kehilangan keanekaragaman hayati, hancurnya daerah resapan air yang memicu banjir bandang, dan hilangnya sumber pangan dan obat-obatan bagi masyarakat adat.
- Pencemaran Logam Berat yang Meracuni Generasi: Ikan di Teluk Weda, Maluku Utara, ditemukan terkontaminasi merkuri (Hg) dan arsenik (As) di atas ambang batas aman. Lebih mengerikan lagi, tes darah warga menunjukkan 47% memiliki kadar merkuri di atas batas aman WHO, meracuni sistem saraf mereka secara perlahan. Ini adalah warisan toksik yang akan ditanggung oleh anak-cucu mereka.
- Polusi Udara dari Energi Paling Kotor: Hampir semua smelter ditenagai oleh PLTU batu bara captive yang dibangun khusus untuk industri. Ini adalah paradoks terbesar: teknologi hijau untuk mobil listrik diproduksi dengan membakar energi paling hitam. Studi dari CREA & CELIOS memproyeksikan emisi dari PLTU ini akan menyebabkan lebih dari 3.800 kematian prematur pada tahun 2025 saja akibat penyakit jantung, stroke, dan ISPA. Data ini diperkuat oleh lonjakan kasus ISPA di sekitar Morowali, dari 10.273 kasus pada 2020 menjadi 55.527 kasus pada 2023. Warga setiap hari menghirup udara beracun demi "kemajuan".
Konflik Agraria, Eksploitasi Buruh, dan Dampak Sosial Hilirisasi yang Merobek Tatanan Masyarakat
Di balik krisis ekologis, ada krisis kemanusiaan yang mendalam sebagai dampak sosial hilirisasi:
- Konflik Agraria & Kriminalisasi Sistematis: Ekspansi industri memicu konflik lahan berdarah di mana-mana, dari Blok Mandiodo di Sulawesi Tenggara hingga Pulau Obi di Maluku Utara. Protes warga yang mempertahankan tanah leluhurnya seringkali dihadapi dengan kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi oleh aparat yang bertindak seolah centeng perusahaan. Ruang demokrasi menyempit, dan suara warga dibungkam.
- Ruang Hidup yang Dirampas Secara Brutal: Nelayan di pesisir Morowali kehilangan wilayah tangkap karena laut tercemar air bahang (thermal pollution) dari PLTU dan limbah tailing, memaksa mereka menjadi pemulung atau ojek laut dengan pendapatan tak menentu. Petani di Bahodopi kehilangan sawah produktif akibat banjir lumpur dari lokasi tambang yang serampangan. Ini bukan sekadar kehilangan mata pencaharian, ini adalah kehilangan identitas dan martabat.
- Eksploitasi Buruh di Balik Gerbang Smelter: Laporan investigasi mengungkap kondisi kerja yang mendekati perbudakan modern: jadwal kerja brutal hingga 60 jam per minggu, paparan debu silika dan zat berbahaya tanpa Alat Pelindung Diri (APD) yang memadai, dan upah yang tidak sepadan dengan risiko nyawa. Kecelakaan kerja yang fatal menjadi hal biasa. Buruh perempuan menghadapi kerentanan ganda, kesulitan mendapat hak cuti haid atau melahirkan.
Kesimpulan: Hilirisasi Nikel Indonesia, Berkah Ekonomi atau Kutukan Sosial?
Hilirisasi nikel 2025 memang berhasil mencatatkan pertumbuhan ekonomi luar biasa di Maluku Utara dan Morowali. Namun, di balik angka PDRB yang melesat, tersembunyi biaya yang teramat mahal: masyarakat lokal yang semakin miskin dan terpinggirkan, konflik agraria yang tak kunjung usai, dan krisis ekologis yang mungkin tak bisa dipulihkan. Transisi energi hijau yang digadang-gadang dunia lewat nikel Indonesia, ternyata dibayar dengan penciptaan “zona pengorbanan hijau” di tanah air kita sendiri.
Pertanyaannya bukan lagi apakah hilirisasi ini berhasil, melainkan berhasil untuk siapa? Apakah ini benar-benar jalan menuju kesejahteraan berkelanjutan, atau hanya sebuah proyek raksasa yang memperkuat cengkeraman oligarki nikel, memperdalam ketimpangan struktural, dan menjadi babak baru dari manifestasi kutukan sumber daya alam Indonesia?
Tanya Jawab (FAQ)
- Apa dampak hilirisasi nikel di Morowali dan Maluku Utara? Secara ekonomi, PDRB meningkat pesat. Namun, dampak sosial dan lingkungannya sangat negatif, meliputi meningkatnya kemiskinan struktural, ketimpangan yang melebar, konflik agraria berdarah, pencemaran logam berat di laut dan udara, polusi masif dari PLTU batu bara, serta eksploitasi sistemik terhadap buruh.
- Kenapa pertumbuhan ekonomi akibat nikel disebut semu? Disebut semu karena pertumbuhan tidak merata dan tidak menetes ke bawah (trickle-down). Manfaatnya terpusat pada industri dan elite tertentu dalam sebuah "ekonomi kantong" yang terisolasi, sementara masyarakat lokal justru mengalami penurunan kualitas hidup, kehilangan sumber pencaharian tradisional, dan menghadapi risiko kesehatan jangka panjang yang tinggi.
- Apa hubungan hilirisasi nikel dengan transisi energi hijau? Nikel adalah komponen kunci untuk baterai kendaraan listrik, yang merupakan bagian penting dari transisi energi hijau
إرسال تعليق