Di tengah riuh rendah kebutuhan anggaran untuk membiayai agenda pembangunan, pemerintah menggulirkan sebuah gagasan radikal: membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN). Wacana ini dibingkai dalam narasi krisis dan urgensi, seolah-olah BPN adalah satu-satunya jalan keluar.

Namun, di balik janji manis efisiensi, proposal ini menyimpan pertaruhan besar terhadap prinsip tata kelola negara. Pertanyaannya bukan lagi sekadar teknis, melainkan fundamental: apakah BPN adalah reformasi sejati, atau justru manuver politik untuk memusatkan kekuasaan?

Badan Penerimaan Negara dan Target Ambisius 23% PDB

Di atas kertas, tujuan BPN sangat mulia. Ia dijanjikan sebagai "mesin super" yang akan mendongkrak rasio penerimaan negara hingga level ambisius 23% dari PDB. Ini bukan sekadar angka, melainkan sebuah lompatan kuantum jika dibandingkan dengan realisasi rasio pajak yang selama bertahun-tahun stagnan di kisaran 10-12%, seperti yang tercatat dalam Nota Keuangan APBN 2025. Target ini, jika tercapai, diharapkan dapat membiayai program populis sekaligus mengatasi isu ketimpangan sosial yang kronis.


Narasi yang dibangun adalah kondisi darurat fiskal, dengan data defisit APBN 2025 yang diproyeksikan melebar dan penerimaan pajak yang terkontraksi sebagai pembenaran. Argumen ini, meskipun kuat secara retorika, menyederhanakan masalah kompleks penerimaan negara menjadi sekadar problem kelembagaan.

Risiko Sentralisasi Fiskal di Bawah Presiden

Rancangan BPN secara efektif memindahkan pusat gravitasi kekuasaan fiskal. Dengan menyatukan wewenang Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) di bawah sebuah superbody yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, BPN menarik kewenangan vital dari ranah teknokratis Kementerian Keuangan ke ranah politik Istana. Langkah ini berisiko membuat kebijakan penerimaan negara menjadi sangat rentan terhadap intervensi dan agenda politik jangka pendek, mengorbankan stabilitas dan prediktabilitas jangka panjang.

Sekuritisasi Fiskal, TNI-Polri dalam Dewan Pengawas BPN

"Bendera merah" terbesar dari proposal BPN adalah rencana pelibatan Panglima TNI dan Kapolri dalam Dewan Pengawas. Langkah ini adalah bentuk "sekuritisasi fiskal", sebuah pergeseran paradigma berbahaya yang menyeret urusan sipil ke dalam pendekatan keamanan.

Logika yang terbangun bukan lagi "bagaimana melayani wajib pajak agar patuh?", melainkan "bagaimana menekan wajib pajak agar tunduk?".

Implikasinya mengerikan: audit pajak bisa terasa seperti interogasi, dan sengketa pajak berisiko ditangani dengan instrumen penegakan hukum yang represif. Ini adalah ancaman nyata bagi hak-hak wajib pajak dan iklim usaha.

Klaim Praktik Terbaik Global dan Mitos SARA

Wacana BPN kerap dibungkus klaim bahwa ini adalah best practice internasional, namun data global seperti yang sering dirangkum dalam laporan pendapatan pajak OECDmenunjukkan klaim ini adalah penyederhanaan yang berbahaya. Hasil implementasi model serupa, Semi-Autonomous Revenue Authority (SARA), di berbagai negara sangat bervariasi:

  • Peru: Awalnya dianggap sukses, namun akhirnya runtuh akibat derasnya intervensi politik dan instabilitas.
  • Afrika Sub-Sahara: Studi komprehensif di 15 negara membuktikan model ini gagal meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan dalam jangka panjang.

Jalan Tol Regulasi

Kekhawatiran semakin memuncak ketika melihat jalur legislasi yang akan ditempuh. Rencana pembentukan BPN tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025, mengindikasikan kuat bahwa pemerintah akan mengambil "jalan tol regulasi" melalui Peraturan Presiden (Perpres). Langkah ini secara efektif memangkas proses demokrasi debat publik, uji sahih argumen, dan pengawasan ketat dari DPR yang seharusnya menjadi jantung dari setiap perubahan fundamental. Hal ini sejalan dengan tren pembuatan kebijakan strategis yang dibahas dalam Analisis Perpres 79 Tahun 2025.

BPN 2025, Reformasi Fiskal atau Rekayasa Kekuasaan?

Badan Penerimaan Negara 2025 diproyeksikan menjadi mesin super fiskal dengan target 23% PDB. Namun, di balik narasi teknokratis, tersimpan risiko besar: sentralisasi kekuasaan di istana, sekuritisasi fiskal dengan pelibatan TNI-Polri, dan erosi demokrasi legislasi lewat jalur Perpres. Pertanyaan krusialnya, apakah BPN 2025 akan benar-benar menjadi reformasi fiskal yang transparan, atau justru kotak Pandora kekuasaan yang membuka jalan bagi kontrol politik absolut atas penerimaan negara?


Post a Comment

أحدث أقدم