Para pekerja menjadi tulang punggung ekonomi. Namun, ironisnya, kesejahteraan mereka seringkali terpinggirkan.Foto: Dery Ridwansah/ JawaPos.com

Oleh: Bowo Arifin Ryan Fanuchi

Di tengah gemuruh perayaan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia dan gema janji penciptaan 19 juta lapangan pekerjaan, ada sebuah kado pahit yang disajikan di atas meja perjamuan bangsa: sebuah krisis ketenagakerjaan yang bersifat struktural, kronis, dan semakin ganas. Ketika statistik kemajuan dan retorika kebijakan dipamerkan laksana piala, jutaan rakyat justru berjuang menagih janji kemerdekaan yang paling fundamental, yaitu kemerdekaan ekonomi. Momentum 80 tahun ini bukanlah saat untuk sekadar berpesta, melainkan untuk membenturkan janji manis dengan realitas pahit dan melakukan otopsi kritis: apa arti "merdeka" jika rakyatnya masih terbelenggu dalam pengangguran terselubung, kerentanan, dan stagnasi kesejahteraan?

Fatarmogana Pasar Kerja: Angka yang Menipu

Fokus pada angka pengangguran resmi adalah cara termudah untuk tersesat dalam ilusi statistik. Realitasnya, pengangguran di kalangan terdidik adalah bukti kegagalan sistemik. Berdasarkan data terbaru Februari 2025, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) lulusan SMK masih menjadi yang tertinggi, yaitu sebesar 8,62%—sebuah ironi tragis yang membuktikan bahwa pendidikan vokasi kita lebih banyak mencetak antrean pengangguran baru. Ini adalah "paradoks ketidaksesuaian" (mismatch paradox), di mana negara memproduksi lulusan untuk pekerjaan yang tidak pernah diciptakan oleh model ekonominya sendiri.

Namun, masalah sebenarnya jauh lebih dalam dan tersembunyi. Angka TPT yang "hanya" 7,86 juta orang menjadi tidak berarti jika kita melihat data pekerja paruh waktu dan setengah penganggur yang jumlahnya mencapai lebih dari 30 juta orang. Jika digabungkan, lebih dari 38 juta warga negara adalah pasukan cadangan pekerja rentan (underutilized). Mereka adalah angkatan kerja yang hidup di zona abu-abu—tidak menganggur secara resmi, namun jauh dari kata sejahtera. Ini adalah wajah asli "pengangguran terselubung" kita: jutaan orang bekerja sekadarnya untuk bertahan hidup, bukan untuk membangun masa depan.

Krisis ini paling parah menghantam generasi muda, calon pewaris bangsa. Dengan tingkat pengangguran pemuda (15-24 tahun) yang mencapai 13,93%, Indonesia berada dalam posisi yang jauh lebih buruk dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Kita sedang menciptakan "generasi yang terluka" (scarring effect)—sebuah luka ekonomi dan psikologis yang akan mereka bawa seumur hidup dalam bentuk pendapatan yang lebih rendah dan prospek karier yang suram, mengancam mengubah bonus demografi menjadi bom waktu demografis.

Fondasi ekonomi kita pun dibangun di atas pasir, ditopang oleh dominasi sektor informal yang mencapai hampir 60% dari total tenaga kerja. Sektor ini seringkali dinarasikan secara romantis sebagai bukti "ketahanan" ekonomi rakyat, padahal sejatinya adalah cerminan dari kegagalan negara menyediakan pekerjaan layak. Bekerja di sektor ini berarti hidup dalam ketidakpastian abadi: tanpa kontrak, tanpa jaminan sosial, dan tanpa perlindungan hukum. Seperti yang dianalisis oleh INDEF, kondisi ini menjebak mayoritas pekerja dalam siklus kemiskinan dan menjadikan mereka tameng pertama saat terjadi guncangan ekonomi.

Di tengah semua ini, narasi "pertumbuhan untuk kesejahteraan" terbukti kebohongan. Data dari CELIOS menunjukkan adanya pemisahan (decoupling) yang jelas antara pertumbuhan PDB dengan kenaikan upah riil buruh. Ini bukan sekadar anomali statistik; ini adalah bukti adanya ekstraksi nilai secara sistematis. Buah dari kerja keras dan peningkatan produktivitas para buruh tidak kembali kepada mereka secara proporsional, melainkan diakumulasi sebagai keuntungan bagi segelintir pemilik modal. Ini adalah erosi fundamental terhadap kontrak sosial yang menjadi dasar negara.

Mesin Industri yang Sengaja Dimatikan

Gejala-gejala ini adalah manifestasi dari penyakit yang lebih dalam pada struktur ekonomi kita: deindustrialisasi dini. Sektor manufaktur, yang seharusnya menjadi eskalator sosial dan ekonomi, justru kehilangan perannya secara prematur. Kontribusi sektor ini terhadap PDB terus merosot drastis dari puncaknya di masa lalu hingga kini berada di bawah 19%. Ini bukan takdir, melainkan hasil dari pilihan kebijakan yang keliru. Kita telah kehilangan mesin utama penciptaan pekerjaan formal yang stabil, berupah layak, dan memiliki efek pengganda yang kuat ke seluruh perekonomian.

Akibatnya, tenaga kerja tidak bertransformasi, melainkan bermigrasi ke jurang kerentanan. Mereka berpindah bukan ke sektor jasa modern yang dinamis, melainkan ke sektor jasa berkualitas rendah seperti perdagangan dan akomodasi. Ini adalah "pergeseran semu", di mana jutaan orang terserap ke dalam aktivitas berproduktivitas rendah dengan upah subsisten. Transformasi struktural kita mandek, tidak seperti lintasan pembangunan yang berhasil ditempuh oleh negara-negara industri baru di Asia Timur.

Arah investasi pun keliru, lebih mencerminkan logika kapitalisme rente ketimbang pembangunan produktif. Aliran modal, baik investasi asing (PMA) maupun kredit perbankan, menunjukkan bias kuat terhadap sektor padat modal dan konsumtif. Kebijakan hilirisasi yang dibanggakan pemerintah, misalnya, lebih banyak menciptakan "katedral di padang gurun": enklave modern seperti smelter yang menyerap sedikit tenaga kerja lokal dan memiliki keterkaitan yang lemah dengan ekonomi domestik. Sementara itu, sistem perbankan kita lebih sibuk menyalurkan kredit konsumtif daripada kredit produktif untuk industri, membiayai gelembung konsumsi alih-alih membangun kapasitas produksi nasional.

Regulasi sebagai Komplikasi, Bukan Solusi

Respons kebijakan yang ada justru memperparah keadaan. Undang-Undang Cipta Kerja, yang dijanjikan sebagai solusi, pada praktiknya menjadi instrumen untuk melegalkan prekaritas (ketidakpastian kerja). Dengan mempermudah outsourcing untuk pekerjaan inti dan menghilangkan batasan waktu untuk pekerja kontrak (PKWT), UU ini mengorbankan keamanan kerja demi "fleksibilitas" yang hanya menguntungkan pengusaha. Bahkan lembaga seperti ILO menyuarakan keprihatinan serius, meskipun Bank Dunia memberikan dukungan bersyarat.

Formula penetapan upah minimum dalam PP No. 51 Tahun 2023 juga secara efektif berfungsi sebagai matematika penindasan yang menekan daya beli pekerja. Di sisi lain, insentif fiskal seperti tax holiday lebih banyak dinikmati oleh sektor padat modal, gagal memenuhi janji penciptaan lapangan kerja. Program Kartu Prakerja pun, menurut evaluasi independen SMERU, tak lebih dari sebuah plasebo kebijakan: memberikan pereda nyeri sementara berupa insentif tunai, namun gagal menyembuhkan penyakit struktural kurangnya permintaan akan tenaga kerja terampil.

Menagih Janji Kemerdekaan Ekonomi

Memasuki dekade kesembilan kemerdekaannya, Indonesia berada di persimpangan jalan. Melanjutkan lintasan kebijakan saat ini berarti membiarkan bom waktu sosial-ekonomi terus berdetak. Kita tidak butuh penyesuaian, kita menuntut revolusi paradigma: dari obsesi buta pada angka PDB menuju pembangunan ekonomi yang berpusat pada penciptaan pekerjaan layak. Ini menuntut kebijakan industri aktif yang memprioritaskan sektor padat karya, reformasi total sistem pendidikan vokasi, dan pembangunan sistem perlindungan sosial universal yang mencakup pekerja informal.

Yang terpenting, pemerintah harus membuka kembali ruang dialog untuk meninjau ulang pasal-pasal problematis dalam UU Cipta Kerja demi menemukan keseimbangan baru yang adil antara fleksibilitas dan keamanan. Tanpa langkah-langkah fundamental ini, pertumbuhan ekonomi akan selamanya menjadi ilusi. Kemerdekaan sejati bukanlah bebas dari penjajahan fisik semata, tetapi bebas dari rasa cemas akan masa depan ekonomi. Itulah janji kemerdekaan yang harus kita tagih, dan jika perlu, kita rebut kembali di usianya yang ke-80.

Post a Comment

Previous Post Next Post